Materi
oleh. Agung Waspodo (Sejarawan
Muslim)
Ringkasan oleh. Gading Ekapuja
Aurizki (NIP 0604756)
Konstantinopel
adalah sebuah obsesi. Usaha untuk menaklukkannya sudah ada sejak zaman Nabi
Muhammad saw. Terletak di ujung pertemuan dua benua, Asia dan Eropa,
Konstantinopel menjadi kota impian. Ada yang mengatakan, siapa yang
menguasainya, maka ia akan bisa menguasai Timur dan Barat.
Umat
Muslim telah berulang kali berusaha untuk menaklukkan Konstantinopel. Namun
setiap usaha selalu menuai kegagalan. Tercatat kekhilafahan Bani Umayyah dua
kali melakukan ekspedisi ke Konstantinopel, namun dua-duanya menemui kegagalan.
Ekspedisi pertama gagal saat mengepung. Sedangkan ekspedisi kedua, yang diikuti
oleh sahabat Nabi Abu Ayyub al-Anshari berhasil mengepung tapi kalah dalam hal
logistik, politik, dan teknologi. Hingga akhirnya, sebaik-baik pemimpin itu
datang.
Al-Fatih
memiliki nama asli Muhammad (bahasa Turki: Mehmet). Panggilan “Al-Fatih” didapatkannya
setelah berhasil menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453 Masehi. Sebelum
merebut Konstantinopel, Al-Fatih menjalani tahun-tahun masa pembinaan. Usia 11
tahun ayahnya Sultan Murad I sudah memberikan kepercayaan kepadanya untuk
menjadi walikota. Pada usia 19 tahun, ketika ayahnya meninggal, ia diangkat
menjadi sultan bergelar Murad II.
Banyak
orang yang meragukan kapasitasnya sebagai seorang pemimpin. Namun, di
sampingnya ada dua orang yang menjadi motivator agar terus maju. Salah satunya
bernama Syaikh Syamsuddin. Syaikh Syamsuddin jugalah yang meyakinkan Al-Fatih
bahwa ia adalah orang yang disebutkan dalam salah satu hadits Nabi, sebagai
sebaik-baik pemimpin yang menjadi panglima bagi sebaik-baik pasukan.
Persiapan
untuk menaklukkan Konstantinopel sudah dimulai Al-Fatih sejak naik tahta.
Dengan kata lain, 2 tahun sebelum hari-H penyerangan segala sesuatunya telah
dipersiapkan. Mulai dari logistik perang, teknologi persenjataan, dan yang
paling penting spiritual pasukan. Saking rapi dan matangnya persiapan, setiap
satu instruksi itu sudah dipersiapkan sejak 3 minggu. Di jalan-jalan menuju
Konstantinopel sudah disediakan logistik untuk pasukan, pemahaman terhadap medan
juga sudah dikuasai.
Untuk
menaklukkan Konstantinopel bukan perkara mudah. Pasalnya Konstantinopel, yang
dikuasai oleh kekaisaran Byzantium, dikelingi oleh benteng-benteng tinggi di
segala penjuru. Hanya sebagian kecil wilayah yang pertahanannya lemah. Bahkan
wilayah laut untuk masuk ke wilayah Konstantinopel dipasangi rantai besar.
Namun pertahanan yang kuat itu tak kuasa membendung laju pasukan Al-Fatih.
Sebelum
ke hari-H pengepungan, ada sebuah fakta menarik dari Kekaisaran Turki Utsmani,
yakni menempatkan ibukota negara di wilayah perbatasan dengan daerah musuh. Ada
pelajaran dibalik kebiasaan itu, yaitu setiap kali sang Sultan bangun yang dia
lihat pertama kali adalah negeri musuh yang ingin ia taklukkan. Hal ini memberi
visi bagi sang Sultan untuk senantiasa mempersiapkan diri melakukan pembebasan
negeri-negeri musuh.
Saat
penyerangan, ternyata Al-Fatih memiliki rencana brilian. Ia mengetahui bahwa
jalur laut menuju Konstantinopel dihalangi oleh rantai besar. Untuk itu ia dan
pasukannya mengangkat kapal melewati gunung sebelum akhirnya tiba di Golden Horn, sebelah Timur
Konstantinopel. Selain pasukan yang menggunakan kapal, ada juga pasukan yang
datang dari sebelah Barat yang sebagiannya merupakan “sekutu” Al-Fatih dari
wilayah Eropa Timur. Pasukan ini harus menghadapi benteng tiga lapis.
Menghadapi pertahanan yang begitu kuat, pasukan Al-Fatih memiliki bekal sebuah
meriam besar. Tembakan meriam itu mampu meruntuhkan benteng tersebut satu
persatu.
Setelah
memenangkan pertarungan, ada sesuatu yang menarik: Al-Fatih melarang pasukannya
untuk masuk ke dalam kota. Jika pasukan masuk ke dalam kota, dikhawatirkan
nafsu untuk menjarah dan melakukan pengrusakan muncul. Al-Fatih pun setelah itu
hanya memerintahkan untuk membersihkan Hagia Sophia untuk dijadikan tempat
shalat. Hagia Sophia pun berubah menjadi Aya Sophia, meskipun saat Turki
Sekuler dicanangkan Kemal Attaturk, namanya dikembalikan menjadi Haghia Sophia.
Dari
sejarah ini kita mendapatkan banyak pelajaran. Jatuh bangun yang terjadi dalam
sejarah Turki membuktikan kalau bangsa Turki adalah bangsa yang besar. Sebelum
menaklukkan Konstantinopel, sempat kekhilafahan Turki Utsmani kehilangan
rajanya dalam sebuah pertempuran. Tetapi beberapa generasi setelah itu Turki
justru berhasil menaklukkan Konstantinopel. Begitupun sekarang. Setelah jatuh
dalam kubang sekulerisme, Turki mampu bangkit menjadi sebuah negara dengan
kepemimpinan Muslim yang disegani. Itu seharusnya memotivasi kita untuk berjuang,
menjadikan Indonesia lebih baik dan bermartabat!
Wallahua'lam bishshawab.. []gea
Wallahua'lam bishshawab.. []gea
No comments:
Post a Comment