Friday, July 27, 2012

Belajar dari Al-Fatih

Materi oleh. Agung Waspodo (Sejarawan Muslim)
Ringkasan oleh. Gading Ekapuja Aurizki (NIP 0604756)
Konstantinopel adalah sebuah obsesi. Usaha untuk menaklukkannya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw. Terletak di ujung pertemuan dua benua, Asia dan Eropa, Konstantinopel menjadi kota impian. Ada yang mengatakan, siapa yang menguasainya, maka ia akan bisa menguasai Timur dan Barat.
Umat Muslim telah berulang kali berusaha untuk menaklukkan Konstantinopel. Namun setiap usaha selalu menuai kegagalan. Tercatat kekhilafahan Bani Umayyah dua kali melakukan ekspedisi ke Konstantinopel, namun dua-duanya menemui kegagalan. Ekspedisi pertama gagal saat mengepung. Sedangkan ekspedisi kedua, yang diikuti oleh sahabat Nabi Abu Ayyub al-Anshari berhasil mengepung tapi kalah dalam hal logistik, politik, dan teknologi. Hingga akhirnya, sebaik-baik pemimpin itu datang.
Al-Fatih memiliki nama asli Muhammad (bahasa Turki: Mehmet). Panggilan “Al-Fatih” didapatkannya setelah berhasil menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453 Masehi. Sebelum merebut Konstantinopel, Al-Fatih menjalani tahun-tahun masa pembinaan. Usia 11 tahun ayahnya Sultan Murad I sudah memberikan kepercayaan kepadanya untuk menjadi walikota. Pada usia 19 tahun, ketika ayahnya meninggal, ia diangkat menjadi sultan bergelar Murad II.
Banyak orang yang meragukan kapasitasnya sebagai seorang pemimpin. Namun, di sampingnya ada dua orang yang menjadi motivator agar terus maju. Salah satunya bernama Syaikh Syamsuddin. Syaikh Syamsuddin jugalah yang meyakinkan Al-Fatih bahwa ia adalah orang yang disebutkan dalam salah satu hadits Nabi, sebagai sebaik-baik pemimpin yang menjadi panglima bagi sebaik-baik pasukan.
Persiapan untuk menaklukkan Konstantinopel sudah dimulai Al-Fatih sejak naik tahta. Dengan kata lain, 2 tahun sebelum hari-H penyerangan segala sesuatunya telah dipersiapkan. Mulai dari logistik perang, teknologi persenjataan, dan yang paling penting spiritual pasukan. Saking rapi dan matangnya persiapan, setiap satu instruksi itu sudah dipersiapkan sejak 3 minggu. Di jalan-jalan menuju Konstantinopel sudah disediakan logistik untuk pasukan, pemahaman terhadap medan juga sudah dikuasai.
Untuk menaklukkan Konstantinopel bukan perkara mudah. Pasalnya Konstantinopel, yang dikuasai oleh kekaisaran Byzantium, dikelingi oleh benteng-benteng tinggi di segala penjuru. Hanya sebagian kecil wilayah yang pertahanannya lemah. Bahkan wilayah laut untuk masuk ke wilayah Konstantinopel dipasangi rantai besar. Namun pertahanan yang kuat itu tak kuasa membendung laju pasukan Al-Fatih.
Sebelum ke hari-H pengepungan, ada sebuah fakta menarik dari Kekaisaran Turki Utsmani, yakni menempatkan ibukota negara di wilayah perbatasan dengan daerah musuh. Ada pelajaran dibalik kebiasaan itu, yaitu setiap kali sang Sultan bangun yang dia lihat pertama kali adalah negeri musuh yang ingin ia taklukkan. Hal ini memberi visi bagi sang Sultan untuk senantiasa mempersiapkan diri melakukan pembebasan negeri-negeri musuh.
Saat penyerangan, ternyata Al-Fatih memiliki rencana brilian. Ia mengetahui bahwa jalur laut menuju Konstantinopel dihalangi oleh rantai besar. Untuk itu ia dan pasukannya mengangkat kapal melewati gunung sebelum akhirnya tiba di Golden Horn, sebelah Timur Konstantinopel. Selain pasukan yang menggunakan kapal, ada juga pasukan yang datang dari sebelah Barat yang sebagiannya merupakan “sekutu” Al-Fatih dari wilayah Eropa Timur. Pasukan ini harus menghadapi benteng tiga lapis. Menghadapi pertahanan yang begitu kuat, pasukan Al-Fatih memiliki bekal sebuah meriam besar. Tembakan meriam itu mampu meruntuhkan benteng tersebut satu persatu.
Setelah memenangkan pertarungan, ada sesuatu yang menarik: Al-Fatih melarang pasukannya untuk masuk ke dalam kota. Jika pasukan masuk ke dalam kota, dikhawatirkan nafsu untuk menjarah dan melakukan pengrusakan muncul. Al-Fatih pun setelah itu hanya memerintahkan untuk membersihkan Hagia Sophia untuk dijadikan tempat shalat. Hagia Sophia pun berubah menjadi Aya Sophia, meskipun saat Turki Sekuler dicanangkan Kemal Attaturk, namanya dikembalikan menjadi Haghia Sophia.
Dari sejarah ini kita mendapatkan banyak pelajaran. Jatuh bangun yang terjadi dalam sejarah Turki membuktikan kalau bangsa Turki adalah bangsa yang besar. Sebelum menaklukkan Konstantinopel, sempat kekhilafahan Turki Utsmani kehilangan rajanya dalam sebuah pertempuran. Tetapi beberapa generasi setelah itu Turki justru berhasil menaklukkan Konstantinopel. Begitupun sekarang. Setelah jatuh dalam kubang sekulerisme, Turki mampu bangkit menjadi sebuah negara dengan kepemimpinan Muslim yang disegani. Itu seharusnya memotivasi kita untuk berjuang, menjadikan Indonesia lebih baik dan bermartabat!


Wallahua'lam bishshawab.. []gea

No comments:

Post a Comment