Gading Ekapuja Aurizki
Jika Anda pergi ke Tokyo –dan mungkin kota lain di Jepang- sempatkan untuk memperhatikan jalan yang Anda lalui. Di sana Anda akan menemukan garis kuning selebar ±40 cm yang membentang sepanjang trotoar dari ujung ke ujung. Sepintas tidak ada yang istimewa dengan garis tersebut. Mulanya saya pun mengira begitu. Namun setelah tahu garis itu ada dimana-mana, saya mulai curiga. Pasti ada suatu maksud di balik keberadaan garis tersebut.
Pertama kali saya menyadari keberadaan garis tersebut ketika berada di Karuizawa, Nagano. Iseng-iseng saya coba berjalan di atasnya. Ketika diinjak, rasanya berbeda dengan ketika berjalan di luar garis. Ketika saya mencoba memejamkan mata, kaki saya merasakan ada sesuatu yang timbul. Saya mencoba berjalan di atas garis tersebut sambil tetap memejamkan mata, ternyata saya bisa berjalan beberapa langkah tanpa belok dengan tetap mengikuti pola timbul yang saya rasakan lewat telapak sepatu. Saat itulah saya bisa menerka kalau garis ini adalah untuk para orang yang tidak bisa melihat, atau penglihatannya terganggu.
Ketika kembali di Tokyo, saya semakin heran karena garis ini ada di semua lokasi publik, mulai dari trotoar jalan besar, pinggir rel metro/kereta, counter penjualan tiket, toilet, sampai melewati gate khusus orang dengan mobilitas terbatas. Untuk membedakan antara garis yang berjalan lurus dengan garis sebagai peringatan berhenti pola garisnya dibuat khusus. Garis panjang untuk jalan lurus, dan bulatan-bulatan untuk berhenti atau belok, dengan begitu orang yang buta bisa waspada kapan mereka harus berjalan dan kapan harus berhenti. Bahkan agar berhati-hati, di depan zebra cross atau di pinggir rel kereta pola bulatan-bulatan dibuat banyak dan lebih lebar.
Pelajaran apa yang bisa kita petik dari fakta di atas? Saya menarik kesimpulan bahwa Jepang sangat memperhatikan kebutuhan warganya, meskipun mereka cacat. Garis kuning tadi hanyalah satu di antara sekian banyak perhatian pemerintah Jepang terhadap rakyatnya. Ada lagi yang lain misalnya aksara Braille di berbagai fasilitas publik, katrol untuk mengangkut kursi roda menaiki tangga, panduan menyebrang di lampu lalu lintas, dan lainnya. Sebenarnya sebelum ini saya juga mendapati hal serupa di Belanda. Di negeri kincir angin, ketika lampu hijau menyala akan dibarengi dengan suara “tok..otok..otok..otok….” dengan frekuensi tinggi dan cukup keras, sehingga orang yang buta tahu saatnya menyebrang.
Jepang adalah negara maju, pun dengan Belanda. Dua negara itu sangat memperhatikan kebutuhan setiap warga negaranya. Mungkin kita berdalih, “karena mereka negara maju makanya bisa memenuhi kebutuhan setiap warga negara.” Jika logikanya dibalik bagaimana? Mereka menjadi negara maju karena benar-benar memperhatikan kebutuhan warga negaranya. Kebutuhan warga negara terpenuhi, produktifitas dalam negeri meningkat, ekonomi menguat, kemajuan negara pasti didapat. Wallahua’lam bishshawab.
Jika Anda pergi ke Tokyo –dan mungkin kota lain di Jepang- sempatkan untuk memperhatikan jalan yang Anda lalui. Di sana Anda akan menemukan garis kuning selebar ±40 cm yang membentang sepanjang trotoar dari ujung ke ujung. Sepintas tidak ada yang istimewa dengan garis tersebut. Mulanya saya pun mengira begitu. Namun setelah tahu garis itu ada dimana-mana, saya mulai curiga. Pasti ada suatu maksud di balik keberadaan garis tersebut.
Pertama kali saya menyadari keberadaan garis tersebut ketika berada di Karuizawa, Nagano. Iseng-iseng saya coba berjalan di atasnya. Ketika diinjak, rasanya berbeda dengan ketika berjalan di luar garis. Ketika saya mencoba memejamkan mata, kaki saya merasakan ada sesuatu yang timbul. Saya mencoba berjalan di atas garis tersebut sambil tetap memejamkan mata, ternyata saya bisa berjalan beberapa langkah tanpa belok dengan tetap mengikuti pola timbul yang saya rasakan lewat telapak sepatu. Saat itulah saya bisa menerka kalau garis ini adalah untuk para orang yang tidak bisa melihat, atau penglihatannya terganggu.
Ketika kembali di Tokyo, saya semakin heran karena garis ini ada di semua lokasi publik, mulai dari trotoar jalan besar, pinggir rel metro/kereta, counter penjualan tiket, toilet, sampai melewati gate khusus orang dengan mobilitas terbatas. Untuk membedakan antara garis yang berjalan lurus dengan garis sebagai peringatan berhenti pola garisnya dibuat khusus. Garis panjang untuk jalan lurus, dan bulatan-bulatan untuk berhenti atau belok, dengan begitu orang yang buta bisa waspada kapan mereka harus berjalan dan kapan harus berhenti. Bahkan agar berhati-hati, di depan zebra cross atau di pinggir rel kereta pola bulatan-bulatan dibuat banyak dan lebih lebar.
Pelajaran apa yang bisa kita petik dari fakta di atas? Saya menarik kesimpulan bahwa Jepang sangat memperhatikan kebutuhan warganya, meskipun mereka cacat. Garis kuning tadi hanyalah satu di antara sekian banyak perhatian pemerintah Jepang terhadap rakyatnya. Ada lagi yang lain misalnya aksara Braille di berbagai fasilitas publik, katrol untuk mengangkut kursi roda menaiki tangga, panduan menyebrang di lampu lalu lintas, dan lainnya. Sebenarnya sebelum ini saya juga mendapati hal serupa di Belanda. Di negeri kincir angin, ketika lampu hijau menyala akan dibarengi dengan suara “tok..otok..otok..otok….” dengan frekuensi tinggi dan cukup keras, sehingga orang yang buta tahu saatnya menyebrang.
Jepang adalah negara maju, pun dengan Belanda. Dua negara itu sangat memperhatikan kebutuhan setiap warga negaranya. Mungkin kita berdalih, “karena mereka negara maju makanya bisa memenuhi kebutuhan setiap warga negara.” Jika logikanya dibalik bagaimana? Mereka menjadi negara maju karena benar-benar memperhatikan kebutuhan warga negaranya. Kebutuhan warga negara terpenuhi, produktifitas dalam negeri meningkat, ekonomi menguat, kemajuan negara pasti didapat. Wallahua’lam bishshawab.
Diskusi bisa dibaca di sini.