Sekitar dua minggu yang lalu, gelombang penolakan RUU PT sedang panas-panasnya. Tetapi setelah Mendiknas M. Nuh meminta penundaan pengesahan RUU PT, tensi pembahasannya menurun. Tulisan ini sebenarnya adalah hasil diskusi saya dan beberapa teman KAMMI dengan Prof. Daniel M. Rosyid (ICMI Jatim dan Pakar Pendidikan) di rumah beliau di Perumahan Dosen ITS. Semoga ingatan saya masih terjaga untuk menjelaskan beberapa hasil diskusi kami. Di tulisan ini saya lebih spesifik membahas tentang biaya pendidikan sistem kredit. Cekidot:
Pembiayaan Pendidikan
Pembiayaan pendidikan memang hal yang cukup sensitif untuk dibahas. Sehingga sering terjadi tarik ulur antar dua golongan yang sampai menimbulkan polemik. Pemerintah kita posisikan sebagai golongan pertama yang merasa biaya pendidikan selama ini masih kurang untuk mencapai angka ideal, meski telah dianggarkan sebesar 20% dari APBN. Seperti kata pepatah Jawa (sekaligus semboyan Jawa Timur) "Jer Basuki Mawa Beya" yang artinya kira-kira adalah "setiap keberhasilan membutuhkan biaya". Itu membuat adanya pembebanan biaya pendidikan bagi peserta didik untuk menutupi kekurangan tersebut. Dengan biaya yang cukup harapannya kualitas pendidikan juga bisa terjamin. Sedangkan golongan kedua adalah rakyat yang menuntut agar biaya pendidikan diminimalkan. Jangan sampai biaya pendidikan tak terjangkau, bahkan kalau perlu pendidikan digratiskan. Dan mereka memang berhak menuntut itu, karena sesuai amanat undang-undang dasar bahwa tujuan diselenggarakannya pemerintahan negara adalah untuk "mencerdaskan kehidupan bangsa". Paradoks inilah yang memunculkan polemik. Di satu sisi negara kekurangan biaya, di sisi lain rakyat menuntut pendidikan murah.
Menanggapi polemik ini, Prof. Daniel berpandangan bahwa memang untuk mencapai kualitas yang diinginkan biaya pendidikan yang ada saat ini masih jauh dari kata cukup. Namun beliau menggarisbawahi pemerintah tidak bisa seenaknya menaikkan beban biaya pendidikan bagi peserta didik karena itu bisa memberatkan mereka. Sehingga beliau memiliki opsi harus ada perubahan sistem pembiayaan pendidikan di Indonesia, dan alternatif yang beliau pilih adalah sistem kredit.
Kalau ada yang ingat, ide tentang pembiayaan sistem kredit ini pernah saya lontarkan melalui kolom gagasan di Jawa Pos bulan Juli tahun 2011 yang berjudul "Biaya Pendidikan Sistem Utang". Ide itu muncul setelah saya terlibat diskusi dengan seorang tukang cetak pamflet di sebuah percetakan di Gubeng Kertajaya. Beliau yang pernah bekerja di Malaysia mengatakan lebih enak memakai sistem utang karena tidak memberatkan mahasiswa. Karena pembahasannya cocok dengan suasana yang terjadi saat itu (daftar ulang Maba Unair yang ribet dan melelahkan) muncul ide untuk menulis dan mengirimkannya ke Jawa Pos. Eh, besoknya langsung terbit. Alhamdulillah..
Bagi yang belum tahun apa itu sistem kredit, akan saya paparkan sedikit dengan bahasa saya. Jika sistem kredit ini diterapkan, maka mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi tak perlu membayar sepeser pun biaya. Sebagai gantinya, mereka harus membayarnya dengan cara yang telah disepakati, misal; dibayar setelah mereka mendapatkan pekerjaan atau ikut magang bekerja di jurusan atau fakultas sebagai tenaga tertentu. Intinya seperti itu. Sedangkan biaya kredit bisa didapat dari kerja sama dengan bank/perusahaan tertentu. Sehingga nantinya ketika mahasiswa lulus dan sudah bekerja, mereka harus membayar ke bank atau bekerja di perusahaan tersebut.
Banyak yang menolak sistem kredit ini. Alasan yang paling banyak dikemukakan adalah "mahasiswa diajari berutang." Memang benar, sistem ini mengajari (bahkan memaksa) rakyat untuk berutang. Namun jika dilihat dari sisi positifnya, saya justru menangkap "mahasiswa diajari untuk bertanggung jawab." Bagaimana bisa?
(1) Jika mahasiswa merasa bahwa mereka memiliki utang/kredit, maka mereka akan terpacu untuk serius belajar untuk bisa diterima kerja/tekun mencari kerja sendiri agar utangnya bisa dilunasi.
(2) Jika menerapkan sistem ini, secara tidak langsung universitas memiliki tanggung jawab untuk aktif "mencarikan" pekerjaan bagi mahasiswanya, agar setelah lulus mereka dapat berkerja dan melunasi utang. Selama ini universitas hanya secara pasif menunggu "laporan" mahasiswa yang diterima kerja. Selain itu sistem seperti ini mensyaratkan agar universitas menjalin kerjasama dengan perusahaan-perusahaan agar nantinya bisa menerima lulusannya.
Ketika ditanya apakah Indonesia siap menggunakan sistem kredit dengan beberapa hal yang dipersyaratkan, Prof. Daniel menjawab Indonesia belum siap. Jika ingin siap, Indonesia harus berani merubah model pembiayaan yang kuno (dengan sistem SPP atau SP3) dengan model pembiayaan yang basisnya adalah entrepreneurship. Jadi ke depan, universitas tidak terlalu tergantung pada pemerintah, namun juga tidak membebankan biaya ke rakyat. Biaya operasional pendidikan mahasiswa dibebankan kepada pihak penanggung, dan akan dibayar dengan sistem kredit setelah mahasiswa lulus.
Ya, kurang lebih seperti itu. Mohon maaf kalau menulisnya kurang sistematis, karena memang tujuan menulis ini hanya sekedar agar ide itu keluar dari otak yang sudah payah karena memikirkan banyak hal. Insya Allah konstruksi sistem pembiayaan ini akan terbangun seiring banyaknya diskusi/interaksi yang kita jalin. Terima kasih.
Sebuah ide yang bagus, untuk Indonesia, di negara lain sudah lama berjalan seperti India
ReplyDelete