Oleh Gading
Ekapuja Aurizki*
Iftitah
Dalam dunia kesehatan, orang sakit atau pasien
harus diberi asupan nutrisi yang adekuat.
Adekuat berarti cukup sesuai kebutuhan. Tidak kurang, tidak juga lebih. Apabila
nutrisi yang diberikan kurang, proses penyembuhan akan berlangsung lama, dan bisa
memperparah sakitnya. Jika nutrisi yang diberikan berlebihan, bisa
mengakibatkan komplikasi dan efek samping yang tak diinginkan. Untuk itu perlu perhitungan
yang pas dalam menentukan kadar nutrisi yang akan diberikan kepada pasien. Orang
yang menghitung kadar asupan nutrisi pun tidak boleh sembarangan, harus dari tenaga
ahli yang benar-benar paham tentang gizi. Jangan sampai orang yang tidak paham
gizi yang menentukan. Bukannya sembuh, bisa-bisa penyakit pasien malah tambah parah!
Sama seperti contoh di atas, dunia yang tengah
sakit ini hanya bisa disembuhkan dengan solusi yang adekuat. Solusi yang
benar-benar adekuat tidak akan didapatkan kecuali dari Allah Swt, Tuhan yang
menguasai dunia seisinya. Dan Allah telah menetapkan bahwa solusi adekuat tersebut
adalah Islam.
Solusi
Adekuat
Allah menjadikan Islam sebagai sebuah
sistem pemberian (given) yang utuh
dan lengkap. Sehingga manusia bisa langsung menerapkan tanpa perlu memodifikasinya
sana-sini. Untuk menerangkan “resep obat” yang adekuat itu kepada manusia,
Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai manhaj
(guide), dan mengutus seorang rasul bernama Muhammad Saw. untuk menjadi uswah (role model) penerapan manhaj
tersebut.
Saking pentingnya pemahaman bahwa Islam
adalah agama yang lengkap, Imam Syahid Hasan Al-Banna sampai menjadikannya sebagai
prinsip pertama dalam Ushul ‘Isyrin (Dua
Puluh Prinsip untuk memahami Islam). Itu berarti, prinsip Islam sebagai agama
yang lengkap (syumul) dianggap
sebagai –dalam bahasa hukum- the ground norm yang harus diyakini dan
dipegang teguh oleh setiap muslim, sebelum merekonstruksi perangkat-perangkat
peradaban lainnya.
Sejarah telah membuktikan, dengan menerapkan
Islam sebagai landasan untuk bergerak, Rasulullah Saw. dan para sahabatnya telah
berhasil membangun peradaban besar yang bertahan sampai satu milenium lamanya!
Selama kurun waktu itu, ilmu pengetahuan berkembang pesat, tokoh-tokoh besar
lahir, dan umat Islam bisa menerapkan syari’ah secara sempurna.
Namun kita tak bisa menampik bahwa sekarang
umat Islam berada di bawah hegemoni peradaban barat. Kondisi ini sudah berlangsung
hampir satu abad, sejak 1924, ketika Kemal Attaturk “memproklamasikan” berdirinya
Turki Sekuler dan mengakhiri kekuasaan kekhilafahan Turki Utsmani. Saat itu bargaining position Islam di mata dunia internasional
benar-benar jatuh, sehingga kolonialisme merajalela di atas negeri-negeri Islam
seperti Mesir, Libya, Afghanistan, Palestina, dan lainnya, termasuk Indonesia.
Sekarang, umat Islam sedang tertatih-tatih
memperjuangkan kembalinya kejayaan Islam –yang berarti kembalinya peradaban
dunia yang mulia dan bermartabat. Namun ada dua masalah yang saat ini masih
menjadi ganjalan bagi umat untuk bangkit. Dua ganjalan itu adalah sekularisme dan liberalisme!
Sekularisme
dan Liberalisme
Dr. Yusuf Al-Qaradhawy pernah
menyampaikan bahwa ada beberapa masalah yang muncul dalam memahami agama Islam.
Masalah ini terkait langsung dengan pemahaman bahwa Islam adalah solusi
adekuat. Ada orang yang mengurangi bagian dari agama Islam, ada juga orang yang
menambahnya dengan sesuatu yang bukan berasal dari Islam (bid’ah).
Penambahan dan/atau pengurangan bagian
dari agama Islam hanya akan merusak Islam sendiri. Kita bisa bisa memakai
analogi orang sakit yang diberi nutrisi yang kurang atau berlebih seperti yang
saya terangkan di awal. Jika dikorelasikan dalam era kekinian, kita akan
mendapati orang yang mengurangi bagian dari agama Islam adalah orang-orang
sekuler, sedangkan yang menambahnya sesuai kehendak nafsu adalah orang liberal.
* * *
Orang sekuler memisahkan antara agama dan
negara, juga antara agama dan pasar. Itu artinya mereka mengurangi bagian dari
Islam yang mengatur tentang masalah kenegaraan dan perekonomian. Tidak hanya
dua masalah itu, banyak hal yang oleh orang sekuler dipisahkan dari agama.
Parahnya, paham-paham sekuler ini sudah
meracuni pemikiran para pemimpin kita. Dalam bukunya “Muslim Indonesia
Berdemokrasi, Kapan Menang?”, Ustadz Fuad Amsyari, Ph.D mengutip pemberitaan
Republika tentang peristiwa debat calon wakil presiden 2009 silam. Saat itu tema
debat adalah hubungan antara agama dan negara.
Hasilnya, menurut Boediono, agama harus
diletakkan ditempat yang MULIA. Tidak menjadi elemen politik praktis. Sedangkan
Wiranto hanya menekankan ada hubungan di antara keduanya, tetapi hanya
substansial. Jawaban Prabowo senada dengan Boediono, bahwa agama harus lepas
dari politik praktis. Menurutnya, agama adalah hal yang SAKRAL.
Kata “mulia” dan “sakral” seolah begitu
arif dan bijak diucapkan. Mereka tidak menyadari bahwa itulah yang menjadi
muslihat para musuh-musuh Islam untuk memisahkan agama dan negara. Sakralisasi
agama akan membuat Al-Qur’an yang –salah satunya- memuat petunjuk kehidupan bernegara
hanya dijadikan simbol, atau tidak untuk diterapkan. Sehingga jangan heran, meskipun
umat Islam di negeri ini mayoritas (bahkan terbanyak di dunia), tapi penderitaan
menjadi teman sehari-hari bagi rakyat.
Ingat, kalau solusi yang diberikan
kurang, maka negeri yang sakit ini proses penyembuhannya akan semakin lama. Bahkan
bisa bertambah parah jika tak segera diberikan asupan solusi yang adekuat!
* * *
Dewasa ini mubtadi’in (ahli bid’ah) muncul dalam bentuk yang lebih “modern”. Jika
kita sering menemui bid’ah dalam ritual
peribadatan, tapi kali ini bid’ah
yang kita temukan adalah bid’ah
pemikiran. Bisa jadi karena pemahamannya itu mereka sama sesatnya dengan murji’ah dan mu’tazilah. Atau bahkan lebih sesat lagi! Kalau murji’ah dan mu’tazilah
masih mempercayai rukun iman ke-1 sampai ke-5 (rukun iman ke-6 yang mereka
percayai tidak sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sehingga mereka dianggap
sesat), maka “mubtadi’in modern” ini mungkin
sudah tidak percaya lagi adanya rukun iman. Mereka adalah orang-orang liberal.
Orang-orang liberal dinilai kebacut dalam memahami Islam. Mereka berpandangan
bahwa semua agama sama dan menuju kepada Tuhan yang satu. Mereka juga menilai
Al-Qur’an itu produk budaya, sehingga bisa diubah untuk disesuaikan dengan kondisi
zaman. Mereka menggunakan dalih “rahmatan
lil ‘alamin” untuk memperbolehkan maksiat. Dianggap Islam adalah agama rahmah, baik bagi orang yang alim sampai
yang bejat sekalipun! Sehingga mereka memandang tak perlu adanya hukuman bagi
mereka yang berzina, membunuh, mencuri, atau melakukan perbuatan maksiat lain.
Mereka juga menghalalkan homoseks dan lesbian karena dianggap hak asasi. Untuk
kaum wanitanya ada tambahan “syari’at” yang menyebutkan wanita boleh menjadi
imam bagi laki-laki, menyesuaikan situasi dan kondisi. Masih banyak lagi
pemikiran-pemikiran nyeleneh yang ketika
di-“dakwah”-kan ke masyarakat mereka bingkai dengan istilah “pembaharuan”.
Selain itu orang-orang liberal itu begitu
getol mengkampanyekan kesetaraan gender dan menjunjung tinggi pluralisme yang memunculkan
toleransi yang kebacut. Melihat jayanya
peradaban pada era Madinah, tampaknya orang-orang liberal tak perlu sibuk-sibuk
mengajari Islam makna toleransi. Kejayaan Islam pada masa itu adalah
manifestasi tertinggi bentuk toleransi yang pernah tercatat dalam lembar
sejarah manusia. Bagaimana penduduk negara dengan agama dan karakteristik yang
beragam bisa dipersatukan lewat piagam Madinah, dan hidup berdampingan secara
nyaman, aman, dan sentausa. Sedangkan toleransi yang diusung orang-orang
liberal, justru malah akan menimbulkan konflik.
Kita lihat, dengan dalih “toleransi”
mereka justru menghasut kalangan minoritas untuk menuntut keadilan, dan tidak bersikap toleran terhadap paham-paham
–yang notabene sudah lurus- yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Mereka bilang
kalangan mayoritas tak boleh memaksakan kehendak untuk tetap menerapkan hukum
yang mendiskreditkan kalangan minoritas. Tetapi mereka sendiri memaksakan
kehendak untuk menentang paham-paham lurus yang sudah ada untuk disesuaikan
dengan Islam versi mereka. Siapa yang sebenarnya memaksakan kehendak?!
Khatimah
Untuk menyembuhkan umat yang sedang
sakit, diperlukan solusi adekuat. Solusi itu mensyaratkan keyakinan bahwa Islam
adalah agama yang lengkap (syumul)
dan telah mencakup semua hal. Sampai ada keyakinan jika Islam adalah
satu-satunya sistem atau ideologi yang ada, itu sudah cukup untuk mengelola
dunia ini. Sayang, di tengah kebutuhan asupan solusi yang adekuat, masih ada
yang bertindak pelit atau bahkan berlebih-lebihan. Mereka adalah orang sekuler
dan liberal. Pemahaman mereka yang rusak hanya akan menjadi slilit dalam bangunan peradaban ini. Di satu
sisi mereka masih ber-KTP Islam, tetapi segenap aktivitas mereka kerahkan untuk
menghancurleburkan Islam. Na’udzubillah!
Inspirasi
- Risalah Pergerakan Ikhwahnul Muslimin 1 – Hasan Al-Banna
- Dari Gerakan ke Negara – Anis Matta
- Muslim Indonesia Berdemokrasi, Kapan Menang? – Fuad Amsyari, Ph.D
- Metodologi Hasan Al-Banna dalam Memahami Islam – Yusuf Al-Qaradhawy
*Penulis adalah aktivis KAMMI Airlangga, Surabaya. Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
No comments:
Post a Comment