Wednesday, April 25, 2012

Solusi Adekuat untuk Permasalahan Umat

Oleh Gading Ekapuja Aurizki*

Iftitah

Dalam dunia kesehatan, orang sakit atau pasien harus diberi asupan nutrisi yang adekuat. Adekuat berarti cukup sesuai kebutuhan. Tidak kurang, tidak juga lebih. Apabila nutrisi yang diberikan kurang, proses penyembuhan akan berlangsung lama, dan bisa memperparah sakitnya. Jika nutrisi yang diberikan berlebihan, bisa mengakibatkan komplikasi dan efek samping yang tak diinginkan. Untuk itu perlu perhitungan yang pas dalam menentukan kadar nutrisi yang akan diberikan kepada pasien. Orang yang menghitung kadar asupan nutrisi pun tidak boleh sembarangan, harus dari tenaga ahli yang benar-benar paham tentang gizi. Jangan sampai orang yang tidak paham gizi yang menentukan. Bukannya sembuh, bisa-bisa penyakit pasien malah tambah parah!

Sama seperti contoh di atas, dunia yang tengah sakit ini hanya bisa disembuhkan dengan solusi yang adekuat. Solusi yang benar-benar adekuat tidak akan didapatkan kecuali dari Allah Swt, Tuhan yang menguasai dunia seisinya. Dan Allah telah menetapkan bahwa solusi adekuat tersebut adalah Islam.

Solusi Adekuat

Allah menjadikan Islam sebagai sebuah sistem pemberian (given) yang utuh dan lengkap. Sehingga manusia bisa langsung menerapkan tanpa perlu memodifikasinya sana-sini. Untuk menerangkan “resep obat” yang adekuat itu kepada manusia, Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai manhaj (guide), dan mengutus seorang rasul bernama Muhammad Saw. untuk menjadi uswah (role model) penerapan manhaj tersebut.

Saking pentingnya pemahaman bahwa Islam adalah agama yang lengkap, Imam Syahid Hasan Al-Banna sampai menjadikannya sebagai prinsip pertama dalam Ushul ‘Isyrin (Dua Puluh Prinsip untuk memahami Islam). Itu berarti, prinsip Islam sebagai agama yang lengkap (syumul) dianggap sebagai –dalam bahasa hukum- the ground norm yang harus diyakini dan dipegang teguh oleh setiap muslim, sebelum merekonstruksi perangkat-perangkat peradaban lainnya.

Sejarah telah membuktikan, dengan menerapkan Islam sebagai landasan untuk bergerak, Rasulullah Saw. dan para sahabatnya telah berhasil membangun peradaban besar yang bertahan sampai satu milenium lamanya! Selama kurun waktu itu, ilmu pengetahuan berkembang pesat, tokoh-tokoh besar lahir, dan umat Islam bisa menerapkan syari’ah secara sempurna.

Namun kita tak bisa menampik bahwa sekarang umat Islam berada di bawah hegemoni peradaban barat. Kondisi ini sudah berlangsung hampir satu abad, sejak 1924, ketika Kemal Attaturk “memproklamasikan” berdirinya Turki Sekuler dan mengakhiri kekuasaan kekhilafahan Turki Utsmani. Saat itu bargaining position Islam di mata dunia internasional benar-benar jatuh, sehingga kolonialisme merajalela di atas negeri-negeri Islam seperti Mesir, Libya, Afghanistan, Palestina, dan lainnya, termasuk Indonesia.

Sekarang, umat Islam sedang tertatih-tatih memperjuangkan kembalinya kejayaan Islam –yang berarti kembalinya peradaban dunia yang mulia dan bermartabat. Namun ada dua masalah yang saat ini masih menjadi ganjalan bagi umat untuk bangkit. Dua ganjalan itu adalah sekularisme dan liberalisme!

Sekularisme dan Liberalisme

Dr. Yusuf Al-Qaradhawy pernah menyampaikan bahwa ada beberapa masalah yang muncul dalam memahami agama Islam. Masalah ini terkait langsung dengan pemahaman bahwa Islam adalah solusi adekuat. Ada orang yang mengurangi bagian dari agama Islam, ada juga orang yang menambahnya dengan sesuatu yang bukan berasal dari Islam (bid’ah).

Penambahan dan/atau pengurangan bagian dari agama Islam hanya akan merusak Islam sendiri. Kita bisa bisa memakai analogi orang sakit yang diberi nutrisi yang kurang atau berlebih seperti yang saya terangkan di awal. Jika dikorelasikan dalam era kekinian, kita akan mendapati orang yang mengurangi bagian dari agama Islam adalah orang-orang sekuler, sedangkan yang menambahnya sesuai kehendak nafsu adalah orang liberal.

* * *

Orang sekuler memisahkan antara agama dan negara, juga antara agama dan pasar. Itu artinya mereka mengurangi bagian dari Islam yang mengatur tentang masalah kenegaraan dan perekonomian. Tidak hanya dua masalah itu, banyak hal yang oleh orang sekuler dipisahkan dari agama.

Parahnya, paham-paham sekuler ini sudah meracuni pemikiran para pemimpin kita. Dalam bukunya “Muslim Indonesia Berdemokrasi, Kapan Menang?”, Ustadz Fuad Amsyari, Ph.D mengutip pemberitaan Republika tentang peristiwa debat calon wakil presiden 2009 silam. Saat itu tema debat adalah hubungan antara agama dan negara.

Hasilnya, menurut Boediono, agama harus diletakkan ditempat yang MULIA. Tidak menjadi elemen politik praktis. Sedangkan Wiranto hanya menekankan ada hubungan di antara keduanya, tetapi hanya substansial. Jawaban Prabowo senada dengan Boediono, bahwa agama harus lepas dari politik praktis. Menurutnya, agama adalah hal yang SAKRAL.

Kata “mulia” dan “sakral” seolah begitu arif dan bijak diucapkan. Mereka tidak menyadari bahwa itulah yang menjadi muslihat para musuh-musuh Islam untuk memisahkan agama dan negara. Sakralisasi agama akan membuat Al-Qur’an yang –salah satunya- memuat petunjuk kehidupan bernegara hanya dijadikan simbol, atau tidak untuk diterapkan. Sehingga jangan heran, meskipun umat Islam di negeri ini mayoritas (bahkan terbanyak di dunia), tapi penderitaan menjadi teman sehari-hari bagi rakyat.

Ingat, kalau solusi yang diberikan kurang, maka negeri yang sakit ini proses penyembuhannya akan semakin lama. Bahkan bisa bertambah parah jika tak segera diberikan asupan solusi yang adekuat!

* * *

Dewasa ini mubtadi’in (ahli bid’ah) muncul dalam bentuk yang lebih “modern”. Jika kita sering menemui bid’ah dalam ritual peribadatan, tapi kali ini bid’ah yang kita temukan adalah bid’ah pemikiran. Bisa jadi karena pemahamannya itu mereka sama sesatnya dengan murji’ah dan mu’tazilah. Atau bahkan lebih sesat lagi! Kalau murji’ah dan mu’tazilah masih mempercayai rukun iman ke-1 sampai ke-5 (rukun iman ke-6 yang mereka percayai tidak sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sehingga mereka dianggap sesat), maka “mubtadi’in modern” ini mungkin sudah tidak percaya lagi adanya rukun iman. Mereka adalah orang-orang liberal.

Orang-orang liberal dinilai kebacut dalam memahami Islam. Mereka berpandangan bahwa semua agama sama dan menuju kepada Tuhan yang satu. Mereka juga menilai Al-Qur’an itu produk budaya, sehingga bisa diubah untuk disesuaikan dengan kondisi zaman. Mereka menggunakan dalih “rahmatan lil ‘alamin” untuk memperbolehkan maksiat. Dianggap Islam adalah agama rahmah, baik bagi orang yang alim sampai yang bejat sekalipun! Sehingga mereka memandang tak perlu adanya hukuman bagi mereka yang berzina, membunuh, mencuri, atau melakukan perbuatan maksiat lain. Mereka juga menghalalkan homoseks dan lesbian karena dianggap hak asasi. Untuk kaum wanitanya ada tambahan “syari’at” yang menyebutkan wanita boleh menjadi imam bagi laki-laki, menyesuaikan situasi dan kondisi. Masih banyak lagi pemikiran-pemikiran nyeleneh yang ketika di-“dakwah”-kan ke masyarakat mereka bingkai dengan istilah “pembaharuan”.

Selain itu orang-orang liberal itu begitu getol mengkampanyekan kesetaraan gender dan menjunjung tinggi pluralisme yang memunculkan toleransi yang kebacut. Melihat jayanya peradaban pada era Madinah, tampaknya orang-orang liberal tak perlu sibuk-sibuk mengajari Islam makna toleransi. Kejayaan Islam pada masa itu adalah manifestasi tertinggi bentuk toleransi yang pernah tercatat dalam lembar sejarah manusia. Bagaimana penduduk negara dengan agama dan karakteristik yang beragam bisa dipersatukan lewat piagam Madinah, dan hidup berdampingan secara nyaman, aman, dan sentausa. Sedangkan toleransi yang diusung orang-orang liberal, justru malah akan menimbulkan konflik.

Kita lihat, dengan dalih “toleransi” mereka justru menghasut kalangan minoritas untuk menuntut keadilan, dan tidak bersikap toleran terhadap paham-paham –yang notabene sudah lurus- yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Mereka bilang kalangan mayoritas tak boleh memaksakan kehendak untuk tetap menerapkan hukum yang mendiskreditkan kalangan minoritas. Tetapi mereka sendiri memaksakan kehendak untuk menentang paham-paham lurus yang sudah ada untuk disesuaikan dengan Islam versi mereka. Siapa yang sebenarnya memaksakan kehendak?!

Khatimah

Untuk menyembuhkan umat yang sedang sakit, diperlukan solusi adekuat. Solusi itu mensyaratkan keyakinan bahwa Islam adalah agama yang lengkap (syumul) dan telah mencakup semua hal. Sampai ada keyakinan jika Islam adalah satu-satunya sistem atau ideologi yang ada, itu sudah cukup untuk mengelola dunia ini. Sayang, di tengah kebutuhan asupan solusi yang adekuat, masih ada yang bertindak pelit atau bahkan berlebih-lebihan. Mereka adalah orang sekuler dan liberal. Pemahaman mereka yang rusak hanya akan menjadi slilit dalam bangunan peradaban ini. Di satu sisi mereka masih ber-KTP Islam, tetapi segenap aktivitas mereka kerahkan untuk menghancurleburkan Islam. Na’udzubillah!


Inspirasi
  1. Risalah Pergerakan Ikhwahnul Muslimin 1 – Hasan Al-Banna
  2. Dari Gerakan ke Negara – Anis Matta
  3. Muslim Indonesia Berdemokrasi, Kapan Menang? – Fuad Amsyari, Ph.D
  4. Metodologi Hasan Al-Banna dalam Memahami Islam – Yusuf Al-Qaradhawy

*Penulis adalah aktivis KAMMI Airlangga, Surabaya. Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga

No comments:

Post a Comment