Monday, May 14, 2012

Ranking Tiga vs. Kontribusi Nyata

Refleksi tentang nama besar Unair dalam forum mahasiswa tingkat nasional dan Peran Harakah di dalamnya

Sebuah essay untuk menyambut Musyawarah Komisariat KAMMI Airlangga VIII dengan tema “The Revival of Students Movement”*

Oleh Gading Ekapuja Aurizki

“Unair sekarang menempati ranking tiga Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terbaik di Indonesia, menyalip ITB yang berada di ranking empat. Di atas Unair hanya ada UI dan UGM.”

Cuplikan kalimat di atas akan sering kita dengar dalam agenda-agenda yang diselenggarakan oleh Rektorat Unair. Saya sendiri mendengarkannya ketika mengikuti Pembekalan Organisasi Mahasiswa, di Hotel Tretes Raya beberapa waktu lalu. Kalimat itu tentunya membanggakan. Mahasiswa mana yang tidak bangga jika dikatakan bahwa universitasnya lebih baik daripada yang lain? Mungkin hanya mahasiswa yang tidak berjiwa “almamateris” yang seperti itu.

Jangan pernah mengira rektorat mengada-ada ketika menyebut Unair berada di ranking tiga. Karena ada data yang menunjukkan Unair telah diakreditasi oleh beberapa lembaga akreditasi, dan hasilnya mengarah pada kesimpulan tersebut.

Di satu sisi saya bangga dengan hasil tersebut. Namun jika melihat realitas, saya belum sepenuhnya percaya. Mungkin karena akreditasi yang dilakukan lebih banyak pada bidang manajemen dan penyelenggaraan birokrasi universitas.

Di sisi lain, dengan labelnya sebagai universitas ranking tiga, ternyata nama Universitas Airlangga belum terlalu dikenal oleh mahasiswa dari universitas lain, terutama yang dari luar Jawa Timur. Hal itu bisa dilihat dari raut bingung mereka ketika mendengar nama Universitas Airlangga. Kalau yang bingung mahasiswa biasa-biasa saja itu wajar, tapi saya menemukan fenomena itu di forum aktivis mahasiswa tingkat nasional.

Kebetulan saya baru pulang dari Rakornas Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia (FL2MI) di Universitas Diponegoro. Di sana, saya yang dengan bangga memakai almamater Unair harus tersenyum kecut ketika dalam sebuah perkenalan seorang mahasiswa dari Undip bertanya, “Unair itu mana ya?”, atau rekan mahasiswa dari kampus lain berkata, “Unair itu di Malang ya?!” Gubraks! Dalam hati saya berkata, “Masak sih gak ngerti Unair?! Universitas ranking tiga?!! Berada di Surabaya, kota metropolis kedua setelah Jakarta?!!” Pasti ada yang salah! Tapi mau bagaimana lagi, itulah kenyataannya..

Diakui apa tidak, nama besar Unair belum begitu terdengar di kalangan aktivis mahasiswa. Diukur dari segi popularitas –meskipun kita tidak mengejar itu- kita masih kalah dengan ITB, UI, UGM, IPB, bahkan UB. Oke, kita mengakui bahwa kita punya ranking lebih baik dari –beberapa di antara- mereka. Tetapi dalam dunia aktivis, ranking tidaklah berpengaruh. Apa yang bisa dibanggakan dari sebuah ranking? Tidak ada! Apakah dengan ranking suara kita lebih didengar? Tidak! Seorang mahasiswa yang nyemplung dalam dunia pergerakan mahasiswa harus bisa survive dengan segala dinamika yang ada. Jika tak punya gagasan besar, jangan harap diperhatikan. “Ranking universitas itu urusanmu, urusan kita bagaimana bisa memberikan kontribusi nyata!”, begitulah gambarannya. Dan sekarang, universitas-universitas di luar Jawa pun mulai bergeliat. Universitas Mulawarman, Universitas Sriwijaya, Universitas Mataram, dan yang lain-lain justru kian giat menunjukkan progesifitas mereka.

Jika ditanya mengapa Unair belum begitu dikenal, jawaban yang paling mungkin adalah karena kita masih kurang aktif “menguasai” forum-forum tingkat nasional tersebut. Apalagi jika mengingat pada tahun 2011 kita sedang low activity, hal itu sangat mungkin terjadi.

Terlepas dari semua alasan masa lalu yang menghantui, kita harus mulai berpikir konstruktif ke depan. Bagaimana cara membangkitkan atmosfer pergerakan di Unair yang sempat mati suri? Itulah yang perlu kita cari tahu akar permasalahannya.

Pekerjaan Rumah bagi Harakah

Harakah atau pergerakan adalah inti dari sebuah negara.” kalimat ini seharusnya menjadi mindset bagi kita. Sehingga mulai dari iklim kemahasiswaan, dinamika pergerakan, sampai kiprah aktivis di tingkat wilayah ataupun nasional semua harus dipastikan mendapat campur tangan harakah.

Kita ambil agenda nasional misalnya. Jika berkiprah di sana, kita akan mendapatkan banyak hal, mulai dari menularnya semangat kawan-kawan luar Jawa yang memiliki militansi tinggi, problems sharing, bertemu dengan kawan-kawan yang berbeda ideologi dan pemikiran, melihat sendiri friksi antar golongan, dan sebagainya. Itu semua sebagai sarana penjagaan (riayah) dan latihan (riyadhah) kita sebelum benar-benar terjun menjadi seorang negarawan. Jika kader harakah hanya berkutat dengan sesama mereka, saya khawatir mereka tidak siap melihat masalah ataupun konflik di masyarakat. Karena potensi konflik antar anggota harakah sendiri relatif kecil. Sedangkan masalah ataupun konflik di masyarakat merupakan suatu keniscayaan.

Untuk itu, harakah harus mulai membagi porsi antara pengkaderan dan pemberdayaan. Juga harus ada pembagian porsi kader yang diberdayakan di dalam dan di luar struktur harakah. Manajemen berperan penting di sini.

Kembali mengacu pada kasus sepinya kiprah kader-kader mahasiswa Unair di forum-forum tingkat nasional. Pemimpin harakah (qiyadah) harus menanggapinya secara serius. Pemimpin harakah bukanlah pemimpin yang hanya membesarkan internal organisasi harakah saja, melainkan juga membuat kepentingan bangsa dan ummat bisa terakomodasi. Sehingga, memberdayakan kader harakah di tingkat nasional, wilayah, daerah, maupun universitas harus dijadikan orientasi dan arahan. Sekarang, ini bukan lagi menjadi anjuran tetapi suatu keharusan!

Pentingnya Kepemimpinan Harakah

Ada dua tafsiran dalam memaknai frase “Kepemimpinan Harakah” ini. Pertama, kepemimpinan dalam sebuah organisasi harakah. Kedua, kepemimpinan dalam sebuah organisasi ‘ammah (umum) oleh kader harakah. Di sini, saya akan lebih banyak membahas tafsiran yang kedua.

Kepemimpinan harakah ini penting karena dengan menempati jabatan-jabatan strategis di kampus, kita dapat memastikan bahwa partisipasi mahasiswa di tingkat wilayah ataupun nasional tidak terlewatkan. Kita harus yakin –dan berani memastikan- bahwa kader harakah memiliki nilai lebih dibandingkan aktivis mahasiswa secara umum. Sehingga konsen kita saat ini adalah bagaimana kader harakah bisa berekspansi keluar organisasinya menuju pos-pos strategis yang belum bisa terkelola.

Kita tidak bisa lagi mengharapkan aktivis mahasiswa yang tidak masuk ke dalam harakah maupun pergerakan secara umum. Ada banyak alasan, diantaranya; (1) Aktivis mahasiswa umum –yang tidak masuk ke dalam harakah- tidak memiliki visi jangka panjang. Visi mereka hanya 4 (empat) tahun di Universitas –dengan masa efektif 2 tahun-. Berbeda dengan kader harakah yang kontribusinya bersifat kolektif, visinya tidak berhenti pada masanya menjadi mahasiswa, melainkan kontinyu mengikuti umur harakah. (2) Aktivis mahasiswa umum tidak memiliki kepentingan kolektif. Sehingga dorongan untuk berkiprah di tingkat yang lebih tinggi relatif lebih rendah dibandingkan kader harakah yang memiliki tugas membuka jalan bagi kader-kader harakah penerusnya. Kalau pun mereka sampai pada tingkat nasional, wilayah, ataupun universitas, maka hanya selesai sampai di sana. Kiprahnya hanya untuk mereka pribadi, dan tidak ada kader yang akan meneruskan perjuangan mereka.

Sekarang giliran kita, kader harakah, yang harus kembali mengambil posisi-posisi strategis di perpolitikan kampus. Namun saya tekankan, hal itu bukanlah untuk sekedar memperoleh jabatan, bukan! Kader harakah harus membuat sistem yang bermanfaat untuk banyak orang. Kemaslahatan bersama lah orientasi kita.

Seperti yang dikatakan M. Anis Matta dalam bukunya Dari Gerakan ke Negara. Harakah itu memiliki tiga lapis kepentingan. Kepentingan pertama untuk bangsa, kepentingan kedua untuk umat Islam, dan kepentingan ketiga –baru- kepentingan harakah itu sendiri. Mindset ini lah yang perlu kita turunkan ke tingkat universitas dengan penyetaraan bangsa sebagai universitas, umat Islam sebagai dakwah kampus secara umum, dan harakah sebagai organisasi kita, KAMMI![]

*Sejatinya penulis hendak menyelesaikan artikel ini sebelum Musykom VIII KAMMI Airlangga, tetapi baru selesai pada hari Senin, 15 Mei 2012.

No comments:

Post a Comment