Refleksi tentang nama besar Unair
dalam forum mahasiswa tingkat nasional dan Peran Harakah di dalamnya
Sebuah essay untuk menyambut Musyawarah Komisariat KAMMI Airlangga VIII dengan tema “The Revival of Students Movement”*
Oleh
Gading Ekapuja Aurizki
“Unair sekarang menempati ranking
tiga Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terbaik di Indonesia, menyalip ITB yang
berada di ranking empat. Di atas Unair hanya ada UI dan UGM.”
Cuplikan
kalimat di atas akan sering kita dengar dalam agenda-agenda yang diselenggarakan
oleh Rektorat Unair. Saya sendiri mendengarkannya ketika mengikuti Pembekalan
Organisasi Mahasiswa, di Hotel Tretes Raya beberapa waktu lalu. Kalimat itu
tentunya membanggakan. Mahasiswa mana yang tidak bangga jika dikatakan bahwa
universitasnya lebih baik daripada yang lain? Mungkin hanya mahasiswa yang
tidak berjiwa “almamateris” yang seperti itu.
Jangan
pernah mengira rektorat mengada-ada ketika menyebut Unair berada di ranking
tiga. Karena ada data yang menunjukkan Unair telah diakreditasi oleh beberapa
lembaga akreditasi, dan hasilnya mengarah pada kesimpulan tersebut.
Di
satu sisi saya bangga dengan hasil tersebut. Namun jika melihat realitas, saya
belum sepenuhnya percaya. Mungkin karena akreditasi yang dilakukan lebih banyak
pada bidang manajemen dan penyelenggaraan birokrasi universitas.
Di
sisi lain, dengan labelnya sebagai universitas ranking tiga, ternyata nama
Universitas Airlangga belum terlalu dikenal oleh mahasiswa dari universitas
lain, terutama yang dari luar Jawa Timur. Hal itu bisa dilihat dari raut
bingung mereka ketika mendengar nama Universitas Airlangga. Kalau yang bingung
mahasiswa biasa-biasa saja itu wajar, tapi saya menemukan fenomena itu di forum
aktivis mahasiswa tingkat nasional.
Kebetulan
saya baru pulang dari Rakornas Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia
(FL2MI) di Universitas Diponegoro. Di sana, saya yang dengan bangga memakai
almamater Unair harus tersenyum kecut ketika dalam sebuah perkenalan seorang
mahasiswa dari Undip bertanya, “Unair itu mana ya?”, atau rekan mahasiswa dari kampus lain berkata, “Unair itu di
Malang ya?!” Gubraks! Dalam hati saya
berkata, “Masak sih gak ngerti
Unair?! Universitas ranking tiga?!! Berada di Surabaya, kota metropolis kedua
setelah Jakarta?!!” Pasti ada yang salah! Tapi mau bagaimana lagi, itulah
kenyataannya..
Diakui
apa tidak, nama besar Unair belum begitu terdengar di kalangan aktivis
mahasiswa. Diukur dari segi popularitas –meskipun kita tidak mengejar itu- kita
masih kalah dengan ITB, UI, UGM, IPB, bahkan UB. Oke, kita mengakui bahwa kita
punya ranking lebih baik dari –beberapa di antara- mereka. Tetapi dalam dunia
aktivis, ranking tidaklah berpengaruh. Apa yang bisa dibanggakan dari sebuah
ranking? Tidak ada! Apakah dengan ranking suara kita lebih didengar? Tidak! Seorang
mahasiswa yang nyemplung dalam dunia
pergerakan mahasiswa harus bisa survive
dengan segala dinamika yang ada. Jika tak punya gagasan besar, jangan harap diperhatikan.
“Ranking universitas itu urusanmu, urusan kita bagaimana bisa memberikan kontribusi
nyata!”, begitulah gambarannya. Dan sekarang, universitas-universitas di luar
Jawa pun mulai bergeliat. Universitas Mulawarman, Universitas Sriwijaya,
Universitas Mataram, dan yang lain-lain justru kian giat menunjukkan
progesifitas mereka.
Jika
ditanya mengapa Unair belum begitu dikenal, jawaban yang paling mungkin adalah
karena kita masih kurang aktif “menguasai” forum-forum tingkat nasional
tersebut. Apalagi jika mengingat pada tahun 2011 kita sedang low activity, hal itu sangat mungkin
terjadi.
Terlepas
dari semua alasan masa lalu yang menghantui, kita harus mulai berpikir konstruktif
ke depan. Bagaimana cara membangkitkan atmosfer pergerakan di Unair yang sempat
mati suri? Itulah yang perlu kita cari tahu akar permasalahannya.
Pekerjaan Rumah bagi Harakah
“Harakah atau pergerakan adalah inti dari
sebuah negara.” kalimat ini seharusnya menjadi mindset bagi kita. Sehingga mulai
dari iklim kemahasiswaan, dinamika pergerakan, sampai kiprah aktivis di tingkat
wilayah ataupun nasional semua harus dipastikan mendapat campur tangan harakah.
Kita
ambil agenda nasional misalnya. Jika berkiprah di sana, kita akan mendapatkan
banyak hal, mulai dari menularnya semangat kawan-kawan luar Jawa yang memiliki
militansi tinggi, problems sharing,
bertemu dengan kawan-kawan yang berbeda ideologi dan pemikiran, melihat sendiri
friksi antar golongan, dan sebagainya. Itu semua sebagai sarana penjagaan (riayah) dan latihan (riyadhah) kita sebelum benar-benar
terjun menjadi seorang negarawan. Jika kader harakah hanya berkutat dengan sesama mereka, saya khawatir mereka
tidak siap melihat masalah ataupun konflik di masyarakat. Karena potensi
konflik antar anggota harakah sendiri
relatif kecil. Sedangkan masalah ataupun konflik di masyarakat merupakan suatu
keniscayaan.
Untuk
itu, harakah harus mulai membagi
porsi antara pengkaderan dan pemberdayaan. Juga harus ada pembagian porsi kader
yang diberdayakan di dalam dan di luar struktur harakah. Manajemen berperan penting di sini.
Kembali
mengacu pada kasus sepinya kiprah kader-kader mahasiswa Unair di forum-forum
tingkat nasional. Pemimpin harakah (qiyadah) harus menanggapinya secara serius. Pemimpin harakah bukanlah pemimpin yang hanya membesarkan internal
organisasi harakah saja, melainkan juga
membuat kepentingan bangsa dan ummat bisa terakomodasi. Sehingga, memberdayakan
kader harakah di tingkat nasional,
wilayah, daerah, maupun universitas harus dijadikan orientasi dan arahan. Sekarang,
ini bukan lagi menjadi anjuran tetapi suatu keharusan!
Pentingnya Kepemimpinan Harakah
Ada
dua tafsiran dalam memaknai frase “Kepemimpinan Harakah” ini. Pertama, kepemimpinan dalam sebuah organisasi harakah. Kedua, kepemimpinan dalam
sebuah organisasi ‘ammah (umum) oleh
kader harakah. Di sini, saya akan lebih
banyak membahas tafsiran yang kedua.
Kepemimpinan
harakah ini penting karena dengan
menempati jabatan-jabatan strategis di kampus, kita dapat memastikan bahwa
partisipasi mahasiswa di tingkat wilayah ataupun nasional tidak terlewatkan.
Kita harus yakin –dan berani memastikan- bahwa kader harakah memiliki nilai lebih dibandingkan aktivis mahasiswa secara
umum. Sehingga konsen kita saat ini adalah bagaimana kader harakah bisa berekspansi keluar organisasinya menuju pos-pos
strategis yang belum bisa terkelola.
Kita
tidak bisa lagi mengharapkan aktivis mahasiswa yang tidak masuk ke dalam harakah maupun pergerakan secara umum.
Ada banyak alasan, diantaranya; (1) Aktivis mahasiswa umum –yang tidak masuk ke
dalam harakah- tidak memiliki visi
jangka panjang. Visi mereka hanya 4 (empat) tahun di Universitas –dengan masa
efektif 2 tahun-. Berbeda dengan kader harakah
yang kontribusinya bersifat kolektif, visinya tidak berhenti pada masanya
menjadi mahasiswa, melainkan kontinyu mengikuti umur harakah. (2) Aktivis mahasiswa umum tidak memiliki kepentingan
kolektif. Sehingga dorongan untuk berkiprah di tingkat yang lebih tinggi
relatif lebih rendah dibandingkan kader harakah
yang memiliki tugas membuka jalan bagi kader-kader harakah penerusnya. Kalau pun mereka sampai pada tingkat nasional, wilayah,
ataupun universitas, maka hanya selesai sampai di sana. Kiprahnya hanya untuk
mereka pribadi, dan tidak ada kader yang akan meneruskan perjuangan mereka.
Sekarang
giliran kita, kader harakah, yang
harus kembali mengambil posisi-posisi strategis di perpolitikan kampus. Namun saya
tekankan, hal itu bukanlah untuk sekedar memperoleh jabatan, bukan! Kader harakah harus membuat sistem yang
bermanfaat untuk banyak orang. Kemaslahatan bersama lah orientasi kita.
Seperti
yang dikatakan M. Anis Matta dalam
bukunya Dari Gerakan ke Negara. Harakah itu memiliki tiga lapis
kepentingan. Kepentingan pertama untuk bangsa,
kepentingan kedua untuk umat Islam,
dan kepentingan ketiga –baru- kepentingan harakah itu sendiri. Mindset ini lah
yang perlu kita turunkan ke tingkat universitas dengan penyetaraan bangsa
sebagai universitas, umat Islam sebagai dakwah kampus secara umum, dan harakah sebagai organisasi kita, KAMMI![]
*Sejatinya penulis hendak
menyelesaikan artikel ini sebelum Musykom VIII KAMMI Airlangga, tetapi baru
selesai pada hari Senin, 15 Mei 2012.
No comments:
Post a Comment