Saturday, May 19, 2012

Bertemunya Kembali Dua Gembel


Oleh Gading Ekapuja Aurizki

Prolog

Saya bersyukur, di 3 (tiga) jenjang pendidikan yang saya jalani (SMP, SMA, dan Kuliah), saya selalu memiliki sahabat karib yang bisa saya anggap saudara sendiri. Andai boleh mengibaratkan seperti hubungan Musa dan Harun ‘alaihimussalam. Benar-benar raket, tak terpisahkan, saling percaya, sejalan dalam hal pemikiran, tapi memiliki karakter berkebalikan yang itu saling melengkapi.

Saat SMP saya memiliki Hendry Bayu Saputra, SMA ada Ketua OSIS saya Mas Memet (Mahathelge Mohamad Supriyadi –sekarang menjadi Menteri Perekonomian BEM KM UGM 2012-), dan di kampus Unair ada Bintang Gumilang yang sekarang menjadi Sekjend saya di KAMMI Airlangga. Mereka bertiga menjadi partner saya di tiga “zaman” yang berbeda. Dan –tanpa mengecilkan peran yang lain- pribadi ketiganya berpengaruh besar terhadap diri saya saat ini.

Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas ketiganya. Saya hanya akan membahas salah satu saja, yaitu Hendry. Kebetulan sebelum artikel ini ditulis beliau sempat silaturahim ke rumah Madigondo, Magetan untuk berdiskusi tentang beberapa permasalan. Untuk dua yang lain, tinggal menunggu momentum untuk menuliskan.

Aku, Hendry, dan Pramuka

“Ding, meskipun di Madiun banyak orang yang bisa didatangi, tapi kalau kamu setiap hari ada di Madiun pasti aku akan ke rumahmu setiap hari!” (Diucapkan oleh Hendry Bayu Saputra –sahabat semasa SMP- kepada saya)

Menurut Anda, apa makna dari kalimat di atas? Kalau menurut saya pribadi maknanya adalah keberadaan seseorang yang tak tergantikan meskipun telah melewati waktu yang sangat lama dan terbentang jarak yang cukup jauh.

Bagi saya dan Hendry, pertemuan di rumah saya tadi malam adalah yang pertama setelah empat tahun. Semenjak lulus SMP hingga sekarang, jumlah pertemuan kami bisa dihitung dengan jari. Itupun terjadi setahun pertama pasca kelulusan. Selebihnya tidak pernah lagi. Bahkan intensitas sms-an atau telepon juga sangat amat jarang. Bisa dibilang kami berdua sudah lost contact.

Namun melihat kalimat di atas bisa dikatakan perpisahan selama kurang lebih empat tahun itu tidak memudarkan ikatan hati kami. Rasanya seperti tidak pernah berpisah. Kami tetap ngobrol seperti dulu, tidak ada kecanggungan sama sekali untuk saling berkeluh kesah tentang masalah masing-masing. Namun satu hal yang paling penting: kecocokan itu masih tetap ada!

* * *

Saat masuk SMP 2 Madiun tahun 2004, saya mengalami nasib “buruk” ketika harus satu kelas dengan Hendry di kelas VII F. Saya katakan nasib “buruk” karena baru masuk Masa Orientasi Siswa (MOS), Hendry sudah terkenal karena kejahilan dan slengekan-nya. Ketika melihat tingkahnya banyak siswa yang langsung berpandangan negatif. Hate at the first sight! Istilahnya mungkin seperti itu.

Hendry adalah orang yang hobi guyon. Setiap hal bisa dibuat lelucon. Dari lelucon-leluconnya itu banyak yang terhibur, tetapi tak sedikit pula yang risih. Sampai saya membatin, “anak ini gak pernah bisa diajak serius!”

Saya jadi teringat “tragedi” tendangan maut yang dipicu oleh kejahilan Hendry.  Saat itu kelas kami sedang materi praktik Shalat dengan Pak Aziz (guru agama) di Mushola SMP 2. Saat semuanya khusyuk mempraktikan gerakan shalat, dia dan Bagus –teman saya yang lain- malah cekikikan sendiri. Pak Aziz pun berang. Beliau langsung –maaf- menampar dan menendang Hendry saat itu juga. Yang saya heran, Hendry tidak langsung diam merasa bersalah, tetapi malah senyum-senyum sambil menahan tertawa. Saya yang saat itu berada di samping lokasi “tragedi” masih ingat betul kejadiannya.

Namun, sifat slengekan Hendry sama sekali hilang ketika sudah masuk aktivitas Pramuka. Yang kelihatan justru keseriusan, kepedulian, dan totalitas. Kebetulan aku dan dia sama-sama termasuk Dewan Pasukan Penggalang (DPP) SMP 2 Madiun 2005-2006. Dari sanalah kami berdua akrab.

Aktivitas di Pramuka SMP 2 merupakan titik start bagi saya menggeluti dunia organisasi. Meskipun saat itu ikut Pramuka hanya bermodal cinta dan semangat. Karena hanya bermodal dua hal itu, manajemen organisasi kami benar-benar parah. Saat itu kami belum terlalu memikirkan bagaimana manajemen sumber daya dan pengelolaan administrasi organisasi. Saking parahnya, list jadwal latihan plus daftar materinya hilang di awal-awal kepengurusan, komunikasi dengan pembina satuan kurang baik, sehingga mendekati akhir masa bakti kami dicap sebagai DPP yang hanya suka mendoktrin junior. Maklum, kami adalah senior yang benar-benar keras, sedikit-sedikit marah, dan lebih menekanan bagaimana mencintai organisasi dan  bersemangat mendongkrak eksistensinya.

Kami melakukan semua itu bukan tanpa alasan. Kami berorientasi pada pembentukan karakter –yang menurut penuturan Hendry kemarin malam hal itu sudah tidak ada lagi pada Pramuka SMP 2. Roda organisasi dijalankan dengan kewajiban hadir di Sanggar setiap hari. Entah bagaimana ceritanya, seingat saya setiap hari ada saja pertemuan atau rapat.

Beberapa hal di atas sempat menjadi perbincangan di kalangan guru. Aktivitas kami di Pramuka dinilai mengkhawatirkan. Namun bukan Pramuka namanya kalau kami gentar. Kami berdua tetap menjadi Pramuka hingga lulus dari SMP 2. Tidak hanya lulus, kami berdua juga meraih prestasi yang cukup membanggakan, NEM 28.00 dan nilai Matematika 10 bulat. Bahkan Hendry mendapat tambahan nilai 100% ketika mendaftar SMA karena dia menjadi delegasi teater SMP 2 ketika menjuarai lomba teater tingkat Jawa Timur di Surabaya!

Setelah berpisah selama empat tahun dan bertemu kembali, kami sama-sama merasakan manfaat gemblengan semasa di Pramuka. Gemblengan itu yang kini tidak lagi dirasakan junior-junior kami. Dan Hendry memiliki azzam untuk menghadirkannya kembali di SMP 2, yang sekarang dinilainya lebih berorientasi pada prestasi berupa tropi dan akreditasi. Dia resah dengan kondisi yang terjadi di Gudep kami. Kini dia mulai bekerja menginisiasi solidnya kembali IKAPRASDA (Ikatan Alumni Pramuka SMP 2 Madiun) yang selama empat tahun tak terurus.

Karena Kami Gembel

Ada yang bertanya apa maksud nama Gembel? Itu adalah kode sandi (baca: julukan) yang kami berikan untuk diri kami. Hendry adalah gembel 1 dan saya gembel 2.

Mengapa gembel? Bukankah itu julukan yang buruk? Hal seperti itu di Pramuka adalah hal biasa. Pembina satuan kami julukannya Gethuk[1], senior kami panggilannya Nyambik[2], dan lain-lain. Julukan itu menjadi satu kebanggan tersendiri. Bahkan saking bangganya sempat nama gembel itu saya tulis di tembok kamar sebelum dicat ulang dua tahun lalu. Dan munculnya nama gembel itu tak asal nyeplos. Ada “ashbabul wurud”-nya.

Alkisah (halah!) saya dan Hendry adalah yang termasuk orang yang dominan di kalangan DPP, meskipun saya pribadi bukan termasuk pengurus inti dan Hendry hanya seorang sekretaris —yang saat itu fungsinya tak terlalu terasa-. Kami selalu berusaha aktif dalam setiap kegiatan berbau Pramuka. Banyak hal yang sudah kami lalui bersama, mulai perkemahan, hiking, cycling, outbond, raffling, dan sebagainya.

Suatu hari saya dan Hendry merasakan keresahan tentang nasib Pramuka SMP 2 ke depan. Sejak saat itu, kami mulai sering silaturahim ke rumah Mas Purwito –senior kami- di Rejomulyo, Madiun. Jaraknya sekitar 10 km dari sekolah. Untuk ke sana kami naik sepeda saya berboncengan. Pernah suatu hari kami ke sana ndlamak[3]. Tanpa rasa malu kami melewati jalanan di tengah kota ke lokasi yang letaknya di pinggiran Kota Madiun, dan itu frekuensinya cukup sering. Itulah sebabnya setiap kami pergi ke rumah Mas Pur, kami selalu menggunakan istilah nggembel. Pada perkembangannya setiap kegiatan yang kami jalani berdua tagline-nya adalah nggembel. Jadilah kami gembel.

Kegiatan nggembel ini sangat bermanfaat membangun jiwa organisatoris dan aktivis saya di kemudian hari. Bukan karena namanya, tapi substansinya yang mengajari kita untuk gelem soro –mau susah/berkorban- dalam berjuang. Sehingga ketika di OSIS SMA harus wira-wiri, sudah biasa. Di kampus mobilitas tinggi, sudah terbiasa. Dan pada kesempatan kali ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Hendry untuk nggembel-nya. Thanks, Mbel!

Karir Perjuangan

Pasca lulus SMP, saya lolos tes RSBI di SMA 3 Madiun, dan Hendry diterima di SMA 2 Madiun dengan ranking pendaftaran ke-3 Se-Kota Madiun. Jumlah nilainya 56,00 (28,00 ditambah 100% dari sertifikat prestasi). Meskipun sama-sama diterima di SMA favorit, tak menjadikan nasib saya dengannya sama, bahkan perbedaannya bisa 180 derajat!

Awal-awal SMA, saya masih mengikuti kegiatan ke-Pramuka-an. Bahkan pertengahan tahun 2008 saya dikirim menjadi kontingen delegasi Kota Madiun di Raimuna Nasional 2008, Cibubur sebagai ketua. Sedangkan Hendry pernah saya tanya tidak aktif lagi di Pramuka. Ada perbedaan atmosfer antara Pramuka SMP dan SMA. Padahal dulu ketika ada pendelegasian Jambore Nasional 2006, Hendry lah yang pertama kali direkomendasikan oleh pembina untuk ikut. Tetapi dia menolak dengan alasan ingin memberikan kesempatan kepada yang lain, dan digantikan oleh Adhya Hanafi, putra Pak Rofiq, wakasek kami saat itu.

Masa SMA mungkin bukan masa yang baik bagi Hendry. Dia mengaku pada masa itu dia jatuh ke lumpur hitam pergaulan. Dia mulai doyan ngrokok, ngombe, dan main[4]. Temannya adalah orang-orang yang gak bener. Puncaknya adalah ketika dia tidak naik ke kelas XI pada tahun 2008. Hal itu berkebalikan dengan saya yang pada tahun itu terpilih menjadi Ketua OSIS SMA 3 Madiun periode 2008-2009. Sejak saat itulah komunikasi kami terputus. Saya mulai sibuk dengan urusan OSIS, dan Hendry tidak saya ketahui rimbanya.

Hendry memberi kabar kembali via SMS menjelang kenaikan kelas tahun berikutnya. Dia minta doa restu agar bisa naik kelas. Setelah kenaikan saya bertanya, “IPA atau IPS?”, dia menjawab, “IPS, karena itulah tujuanku.” Alhamdulillah.. Artinya dia sudah mulai kembali ke jalan yang benar. Buktinya dia sudah punya targetan mau masuk kelas apa.

Sekian lama kami tak saling memberi kabar. Paling hanya sesekali ketika momen-momen penting seperti menjelang saya UN dan dia UN. Selebihnya tidak. Namun beberapa bulan lalu ada akun FB yang me-request pertemanan. Akun yang sekarang bernama Hendry Putra Pratama Sandry itu menarik perhatian saya. Setelah coba saya cek, ternyata milik Hendry. Langsung saja saya approve.

Masa-masa awal hubungan virtual kami terjalin hanya digunakan untuk say hallo. Kami jarang berkomunikasi, paling mentok kasih like atau comment di status. Karena kesibukan di kampus, saya hanya tahu kabarnya secara umum saja kalau sekarang dia berwirausaha lele, dan baru saja melamar seorang gadis. Setahun lagi Insya Allah dia akan menikah. Mendengar kabar itu saya sangat bersyukur.

Beberapa waktu yang lalu, belum genap sebulan, saya diundang masuk ke sebuah grup FB IKAPRASDA. Yang mengundang Hendry. Sepertinya dia punya niat untuk kembali menyatukan alumni-alumni yang sudah terserak tak terlacak. Seperti yang saya katakan sebelumnya, dia memiliki keinginan untuk memperbaiki Pramuka SMP 2. Ketika datang ke rumah tadi malam yang kami obrolkan juga seputar itu. Dia meminta masukan bagaimana untuk mendekati pihak sekolah yang kian protektif terhadap keberadaan alumni. Saya memberi saran sesuai kemampuan saya. Dia tampak puas dan lega dengan jawaban itu, sehingga kata-kata yang saya tulis di atas meluncur dari mulutnya.

Bisa dikatakan Hendry adalah orang progresif. Orang progresif biasanya hanya bisa cocok dengan beberapa orang yang progresif juga. Dia mengaku tak menemukan lawan diskusi yang seimbang di Madiun. Ada sih senior-senior yang progresif, tetapi tentu rasanya berbeda. Mereka sudah banyak yang berkeluarga, dan memiliki beban hidup tersendiri.

Terlepas dari banyak hal yang masih belum bisa dicapainya, saya melihat Hendry sudah semakin matang sebagai seorang laki-laki. Meskipun sempat terperosok ke lumpur hitam, dia mampu bangkit. Ada sedikit kesedihan karena saya tak bisa mendampingi dirinya melewati masa-masa sulit. Awalnya saya menyangka dia kecewa karena tidak ada lagi alumni yang peduli dengan nasib Pramuka SMP 2. Namun ternyata tidak, dia malah berkata, “Gak masalah kalian mau jadi apapun, yang penting ketika bertemu ada hal yang bisa dibagi. Jangan cuma say hello habis itu selesai!”

Epilog

Empat tahun perpisahan seakan terhapus dengan pertemuan tadi malam. Dia memang terlihat lebih gemuk, namun semangatnya yang dulu tak berubah, bahkan bertambah!

Empat tahun mungkin waktu yang diatur oleh Allah swt. agar kami sama-sama berjuang memperbaiki diri. Terjerembab, terjatuh, dan merasakan susah sendirian seperti sebuah kepompong. Tetapi pertemuan itu indah ketika kami sama-sama telah menjadi kupu-kupu, matang sebagai seorang laki-laki, dan siap memikirkan hal yang lebih besar untuk perbaikan masyarakat.

Semoga pertemuan tadi malam hanyalah prolog saja. Karya-karya kita selanjutnya adalah hasil kerja kita setelah ini.

Allahumma innaka ta’lamu anna hadzihil quluub, qadijtama’at ‘alaa mahabbatik, wal taqat ‘alaa thaa’atik, wa tawahadat ‘alaa da’watik, wa ta’ahadat ‘alaa nusyrati syarii’atik, fawatstsikillahumma rabithatahaa, wa ‘adhim wuddahaa, wahdihaa subulahaa, wam la’haa bi nuurikalladzi wasyrahsudurahaa, bi faidhil iimaanibik, wa tawakuli ‘alaik, wa ahyihaa bi ma’rifatik, wa amit-haa ‘alaasy syahaadati fii sabilik, innaka ni’mal maula wa ni’man nasyiir.


Madigondo, 19 Mei 2012
* * *

Keterangan

[1] Gethuk: kudapan khas Jawa dengan bahan dasar ketela/singkong.
[2] Nyambik: nama reptil yang hidup di sungai; berbentuk seperti buaya namun ukurannya lebih kecil.
[3] Ndlamak: tidak memakai alas kaki.
[4] Ngrokok, ngombe, main: Merokok, minum minuman keras/mabuk, berjudi.

No comments:

Post a Comment