Oleh Gading
Ekapuja Aurizki
Prolog
Saya bersyukur, di 3 (tiga) jenjang
pendidikan yang saya jalani (SMP, SMA, dan Kuliah), saya selalu memiliki
sahabat karib yang bisa saya anggap saudara sendiri. Andai boleh mengibaratkan
seperti hubungan Musa dan Harun ‘alaihimussalam.
Benar-benar raket, tak terpisahkan, saling percaya, sejalan dalam hal
pemikiran, tapi memiliki karakter berkebalikan yang itu saling melengkapi.
Saat SMP saya memiliki Hendry Bayu
Saputra, SMA ada Ketua OSIS saya Mas Memet (Mahathelge Mohamad Supriyadi
–sekarang menjadi Menteri Perekonomian BEM KM UGM 2012-), dan di kampus Unair
ada Bintang Gumilang yang sekarang menjadi Sekjend saya di KAMMI Airlangga.
Mereka bertiga menjadi partner saya di tiga “zaman” yang berbeda. Dan –tanpa
mengecilkan peran yang lain- pribadi ketiganya berpengaruh besar terhadap diri
saya saat ini.
Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas
ketiganya. Saya hanya akan membahas salah satu saja, yaitu Hendry. Kebetulan
sebelum artikel ini ditulis beliau sempat silaturahim ke rumah Madigondo,
Magetan untuk berdiskusi tentang beberapa permasalan. Untuk dua yang lain, tinggal
menunggu momentum untuk menuliskan.
Aku,
Hendry, dan Pramuka
“Ding,
meskipun di Madiun banyak orang yang bisa didatangi, tapi kalau kamu setiap
hari ada di Madiun pasti aku akan ke rumahmu setiap hari!” (Diucapkan oleh Hendry Bayu Saputra
–sahabat semasa SMP- kepada saya)
Menurut Anda, apa makna dari kalimat di
atas? Kalau menurut saya pribadi maknanya adalah keberadaan seseorang yang tak
tergantikan meskipun telah melewati waktu yang sangat lama dan terbentang jarak
yang cukup jauh.
Bagi saya dan Hendry, pertemuan di rumah
saya tadi malam adalah yang pertama setelah empat tahun. Semenjak lulus SMP
hingga sekarang, jumlah pertemuan kami bisa dihitung dengan jari. Itupun
terjadi setahun pertama pasca kelulusan. Selebihnya tidak pernah lagi. Bahkan intensitas
sms-an atau telepon juga sangat amat jarang. Bisa dibilang kami berdua sudah lost contact.
Namun melihat kalimat di atas bisa
dikatakan perpisahan selama kurang lebih empat tahun itu tidak memudarkan
ikatan hati kami. Rasanya seperti tidak pernah berpisah. Kami tetap ngobrol
seperti dulu, tidak ada kecanggungan sama sekali untuk saling berkeluh kesah
tentang masalah masing-masing. Namun satu hal yang paling penting: kecocokan
itu masih tetap ada!
* * *
Saat masuk SMP 2 Madiun tahun 2004, saya
mengalami nasib “buruk” ketika harus satu kelas dengan Hendry di kelas VII F. Saya
katakan nasib “buruk” karena baru masuk Masa Orientasi Siswa (MOS), Hendry sudah
terkenal karena kejahilan dan slengekan-nya.
Ketika melihat tingkahnya banyak siswa yang langsung berpandangan negatif. Hate at the first sight! Istilahnya
mungkin seperti itu.
Hendry adalah orang yang hobi guyon. Setiap hal bisa dibuat lelucon. Dari
lelucon-leluconnya itu banyak yang terhibur, tetapi tak sedikit pula yang
risih. Sampai saya membatin, “anak ini gak
pernah bisa diajak serius!”
Saya jadi teringat “tragedi” tendangan
maut yang dipicu oleh kejahilan Hendry. Saat
itu kelas kami sedang materi praktik Shalat dengan Pak Aziz (guru agama) di
Mushola SMP 2. Saat semuanya khusyuk mempraktikan gerakan shalat, dia dan Bagus
–teman saya yang lain- malah cekikikan sendiri. Pak Aziz pun berang. Beliau
langsung –maaf- menampar dan menendang Hendry saat itu juga. Yang saya heran, Hendry
tidak langsung diam merasa bersalah, tetapi malah senyum-senyum sambil menahan
tertawa. Saya yang saat itu berada di samping lokasi “tragedi” masih ingat
betul kejadiannya.
Namun, sifat slengekan Hendry sama sekali hilang ketika sudah masuk aktivitas
Pramuka. Yang kelihatan justru keseriusan, kepedulian, dan totalitas. Kebetulan
aku dan dia sama-sama termasuk Dewan Pasukan Penggalang (DPP) SMP 2 Madiun
2005-2006. Dari sanalah kami berdua akrab.
Aktivitas di Pramuka SMP 2 merupakan titik
start bagi saya menggeluti dunia
organisasi. Meskipun saat itu ikut Pramuka hanya bermodal cinta dan semangat. Karena
hanya bermodal dua hal itu, manajemen organisasi kami benar-benar parah. Saat
itu kami belum terlalu memikirkan bagaimana manajemen sumber daya dan
pengelolaan administrasi organisasi. Saking parahnya, list jadwal latihan plus
daftar materinya hilang di awal-awal kepengurusan, komunikasi dengan pembina
satuan kurang baik, sehingga mendekati akhir masa bakti kami dicap sebagai DPP
yang hanya suka mendoktrin junior. Maklum, kami adalah senior yang benar-benar
keras, sedikit-sedikit marah, dan lebih menekanan bagaimana mencintai organisasi
dan bersemangat mendongkrak
eksistensinya.
Kami melakukan semua itu bukan tanpa
alasan. Kami berorientasi pada pembentukan karakter –yang menurut penuturan
Hendry kemarin malam hal itu sudah tidak ada lagi pada Pramuka SMP 2. Roda organisasi
dijalankan dengan kewajiban hadir di Sanggar setiap hari. Entah bagaimana
ceritanya, seingat saya setiap hari ada saja pertemuan atau rapat.
Beberapa hal di atas sempat menjadi
perbincangan di kalangan guru. Aktivitas kami di Pramuka dinilai mengkhawatirkan.
Namun bukan Pramuka namanya kalau kami gentar. Kami berdua tetap menjadi
Pramuka hingga lulus dari SMP 2. Tidak hanya lulus, kami berdua juga meraih
prestasi yang cukup membanggakan, NEM 28.00 dan nilai Matematika 10 bulat. Bahkan
Hendry mendapat tambahan nilai 100% ketika mendaftar SMA karena dia menjadi delegasi
teater SMP 2 ketika menjuarai lomba teater tingkat Jawa Timur di Surabaya!
Setelah berpisah selama empat tahun dan
bertemu kembali, kami sama-sama merasakan manfaat gemblengan semasa di Pramuka.
Gemblengan itu yang kini tidak lagi dirasakan junior-junior kami. Dan Hendry memiliki
azzam untuk menghadirkannya kembali di
SMP 2, yang sekarang dinilainya lebih berorientasi pada prestasi berupa tropi
dan akreditasi. Dia resah dengan kondisi yang terjadi di Gudep kami. Kini dia
mulai bekerja menginisiasi solidnya kembali IKAPRASDA (Ikatan Alumni Pramuka
SMP 2 Madiun) yang selama empat tahun tak terurus.
Karena
Kami Gembel
Ada yang bertanya apa maksud nama Gembel?
Itu adalah kode sandi (baca: julukan) yang kami berikan untuk diri kami. Hendry
adalah gembel 1 dan saya gembel 2.
Mengapa gembel? Bukankah itu julukan yang
buruk? Hal seperti itu di Pramuka adalah hal biasa. Pembina satuan kami
julukannya Gethuk[1], senior kami panggilannya
Nyambik[2], dan lain-lain. Julukan
itu menjadi satu kebanggan tersendiri. Bahkan saking bangganya sempat nama
gembel itu saya tulis di tembok kamar sebelum dicat ulang dua tahun lalu. Dan munculnya
nama gembel itu tak asal nyeplos. Ada
“ashbabul wurud”-nya.
Alkisah (halah!) saya dan Hendry adalah
yang termasuk orang yang dominan di kalangan DPP, meskipun saya pribadi bukan
termasuk pengurus inti dan Hendry hanya seorang sekretaris —yang saat itu
fungsinya tak terlalu terasa-. Kami selalu berusaha aktif dalam setiap kegiatan
berbau Pramuka. Banyak hal yang sudah kami lalui bersama, mulai perkemahan, hiking, cycling, outbond, raffling,
dan sebagainya.
Suatu hari saya dan Hendry merasakan
keresahan tentang nasib Pramuka SMP 2 ke depan. Sejak saat itu, kami mulai
sering silaturahim ke rumah Mas Purwito –senior kami- di Rejomulyo, Madiun. Jaraknya
sekitar 10 km dari sekolah. Untuk ke sana kami naik sepeda saya berboncengan. Pernah
suatu hari kami ke sana ndlamak[3]. Tanpa
rasa malu kami melewati jalanan di tengah kota ke lokasi yang letaknya di
pinggiran Kota Madiun, dan itu frekuensinya cukup sering. Itulah sebabnya
setiap kami pergi ke rumah Mas Pur, kami selalu menggunakan istilah nggembel. Pada perkembangannya setiap
kegiatan yang kami jalani berdua tagline-nya
adalah nggembel. Jadilah kami gembel.
Kegiatan nggembel ini sangat bermanfaat membangun jiwa organisatoris dan
aktivis saya di kemudian hari. Bukan karena namanya, tapi substansinya yang
mengajari kita untuk gelem soro –mau susah/berkorban-
dalam berjuang. Sehingga ketika di OSIS SMA harus wira-wiri, sudah biasa. Di
kampus mobilitas tinggi, sudah terbiasa. Dan pada kesempatan kali ini saya ingin
mengucapkan terima kasih kepada Hendry untuk nggembel-nya. Thanks,
Mbel!
Karir
Perjuangan
Pasca lulus SMP, saya lolos tes RSBI di
SMA 3 Madiun, dan Hendry diterima di SMA 2 Madiun dengan ranking pendaftaran
ke-3 Se-Kota Madiun. Jumlah nilainya 56,00 (28,00 ditambah 100% dari sertifikat
prestasi). Meskipun sama-sama diterima di SMA favorit, tak menjadikan nasib
saya dengannya sama, bahkan perbedaannya bisa 180 derajat!
Awal-awal SMA, saya masih mengikuti
kegiatan ke-Pramuka-an. Bahkan pertengahan tahun 2008 saya dikirim menjadi kontingen
delegasi Kota Madiun di Raimuna Nasional 2008, Cibubur sebagai ketua. Sedangkan
Hendry pernah saya tanya tidak aktif lagi di Pramuka. Ada perbedaan atmosfer
antara Pramuka SMP dan SMA. Padahal dulu ketika ada pendelegasian Jambore
Nasional 2006, Hendry lah yang pertama kali direkomendasikan oleh pembina untuk
ikut. Tetapi dia menolak dengan alasan ingin memberikan kesempatan kepada yang
lain, dan digantikan oleh Adhya Hanafi, putra Pak Rofiq, wakasek kami saat itu.
Masa SMA mungkin bukan masa yang baik
bagi Hendry. Dia mengaku pada masa itu dia jatuh ke lumpur hitam pergaulan. Dia
mulai doyan ngrokok, ngombe, dan main[4]. Temannya adalah orang-orang yang gak bener. Puncaknya adalah ketika dia tidak naik ke kelas XI pada
tahun 2008. Hal itu berkebalikan dengan saya yang pada tahun itu terpilih menjadi
Ketua OSIS SMA 3 Madiun periode 2008-2009. Sejak saat itulah komunikasi kami
terputus. Saya mulai sibuk dengan urusan OSIS, dan Hendry tidak saya ketahui rimbanya.
Hendry memberi kabar kembali via SMS menjelang
kenaikan kelas tahun berikutnya. Dia minta doa restu agar bisa naik kelas. Setelah
kenaikan saya bertanya, “IPA atau IPS?”, dia menjawab, “IPS, karena itulah
tujuanku.” Alhamdulillah.. Artinya
dia sudah mulai kembali ke jalan yang benar. Buktinya dia sudah punya targetan mau
masuk kelas apa.
Sekian lama kami tak saling memberi
kabar. Paling hanya sesekali ketika momen-momen penting seperti menjelang saya
UN dan dia UN. Selebihnya tidak. Namun beberapa bulan lalu ada akun FB yang me-request pertemanan. Akun yang sekarang
bernama Hendry Putra Pratama Sandry itu menarik perhatian saya. Setelah coba saya
cek, ternyata milik Hendry. Langsung saja saya approve.
Masa-masa awal hubungan virtual kami
terjalin hanya digunakan untuk say hallo. Kami jarang berkomunikasi, paling
mentok kasih like atau comment di status. Karena kesibukan di
kampus, saya hanya tahu kabarnya secara umum saja kalau sekarang dia
berwirausaha lele, dan baru saja melamar seorang gadis. Setahun lagi Insya Allah dia akan menikah. Mendengar kabar
itu saya sangat bersyukur.
Beberapa waktu yang lalu, belum genap
sebulan, saya diundang masuk ke sebuah grup FB IKAPRASDA. Yang mengundang
Hendry. Sepertinya dia punya niat untuk kembali menyatukan alumni-alumni yang
sudah terserak tak terlacak. Seperti yang saya katakan sebelumnya, dia memiliki
keinginan untuk memperbaiki Pramuka SMP 2. Ketika datang ke rumah tadi malam
yang kami obrolkan juga seputar itu. Dia meminta masukan bagaimana untuk
mendekati pihak sekolah yang kian protektif terhadap keberadaan alumni. Saya memberi
saran sesuai kemampuan saya. Dia tampak puas dan lega dengan jawaban itu, sehingga
kata-kata yang saya tulis di atas meluncur dari mulutnya.
Bisa dikatakan Hendry adalah orang
progresif. Orang progresif biasanya hanya bisa cocok dengan beberapa orang yang
progresif juga. Dia mengaku tak menemukan lawan diskusi yang seimbang di
Madiun. Ada sih senior-senior yang
progresif, tetapi tentu rasanya berbeda. Mereka sudah banyak yang berkeluarga,
dan memiliki beban hidup tersendiri.
Terlepas dari banyak hal yang masih belum
bisa dicapainya, saya melihat Hendry sudah semakin matang sebagai seorang
laki-laki. Meskipun sempat terperosok ke lumpur hitam, dia mampu bangkit. Ada sedikit
kesedihan karena saya tak bisa mendampingi dirinya melewati masa-masa sulit. Awalnya
saya menyangka dia kecewa karena tidak ada lagi alumni yang peduli dengan nasib
Pramuka SMP 2. Namun ternyata tidak, dia malah berkata, “Gak masalah kalian mau
jadi apapun, yang penting ketika bertemu ada hal yang bisa dibagi. Jangan cuma say hello habis itu selesai!”
Epilog
Empat tahun perpisahan seakan terhapus
dengan pertemuan tadi malam. Dia memang terlihat lebih gemuk, namun semangatnya
yang dulu tak berubah, bahkan bertambah!
Empat tahun mungkin waktu yang diatur
oleh Allah swt. agar kami sama-sama berjuang memperbaiki diri. Terjerembab,
terjatuh, dan merasakan susah sendirian seperti sebuah kepompong. Tetapi
pertemuan itu indah ketika kami sama-sama telah menjadi kupu-kupu, matang
sebagai seorang laki-laki, dan siap memikirkan hal yang lebih besar untuk
perbaikan masyarakat.
Semoga pertemuan tadi malam hanyalah
prolog saja. Karya-karya kita selanjutnya adalah hasil kerja kita setelah ini.
Allahumma
innaka ta’lamu anna hadzihil quluub, qadijtama’at ‘alaa mahabbatik, wal taqat ‘alaa
thaa’atik, wa tawahadat ‘alaa da’watik, wa ta’ahadat ‘alaa nusyrati syarii’atik,
fawatstsikillahumma rabithatahaa, wa
‘adhim wuddahaa, wahdihaa subulahaa, wam la’haa bi nuurikalladzi
wasyrahsudurahaa, bi faidhil iimaanibik, wa tawakuli ‘alaik, wa ahyihaa bi ma’rifatik,
wa amit-haa ‘alaasy syahaadati fii sabilik, innaka ni’mal maula wa ni’man
nasyiir.
Madigondo,
19 Mei 2012
* * *
Keterangan
[1] Gethuk: kudapan khas Jawa dengan bahan dasar ketela/singkong.
[2] Nyambik: nama reptil yang hidup di sungai;
berbentuk seperti buaya namun ukurannya lebih kecil.
[3] Ndlamak: tidak memakai alas kaki.
[4] Ngrokok,
ngombe, main: Merokok,
minum minuman keras/mabuk, berjudi.
No comments:
Post a Comment