Sunday, December 9, 2012

#HariAntiKorupsi: Cerita dari Gerbong Kereta

Hari ini #HariAntiKorupsi. Kebetulan sewaktu naik kereta pulang ke Magetan kemarin, saya mendapatkan cerita menarik tentang perilaku korupsi di Indonesia. Saya menganggapnya kuliah praktik korupsi gratis dengan narasumber yang cukup bisa dipercaya, yakni seorang PNS di salah satu kelurahan di Kec. Tambaksari, Surabaya. Sebut saja namanya Mas P. Kami duduk satu bangku, dan kebetulan sama-sama mau ke Madiun. Mas P ini awalnya tenaga honorer yang direkrut oleh Pak Lurah. Tahun 2009, ketika SBY maju presiden untuk kedua kalinya, Mas P diangkat menjadi PNS bersama tenaga-tenaga honorer lain.

Fenomena korupsi yang ada di Indonesia seperti gunung es. Yang tampak hanya puncaknya saja. Dibawah? Lebih parah! Tidak hanya terstruktur, namun sudah mengkultur. Kasus yang ada di tingkat negara hanyalah segelintir saja, meskipun dari segi jumlah nilai proyeknya bisa ratusan juta hingga miliaran. Sedangkan di tingkat bawah seperti di kelurahan kasusnya sangat amat banyak, namun dengan nominal yang lebih kecil yakni "hanya" ratusan ribu per-orang per-hari. Kata Mas P, mulai kerja jam 7 pagi hingga jam 10 saja, dia bisa mendapatkan uang Rp 200 ribu. Padahal saat masih menjadi tenaga honorer, gajinya per-bulan hanya Rp 275 ribu. Jadi tidak heran kalau orang tergiur untuk melakukan praktik berbau korupsi seperti ini. Lha wong gaji satu bulan dari instansi bisa ditutupi hanya satu hari "beroperasi"!

Namun sebetulnya masalah utama dari perilaku korup bukanlah gaji yang minim. Pegawai yang sudah diangkat menjadi PNS dan mendapatkan gaji cukup besar pun juga masih aktif mencari ceperan. Faktornya banyak, mulai dari sistem yang memberi peluang orang untuk korupsi, mental para pegawai pemerintahan, hingga budaya sogok yang ada di masyarakat. Kita mulai dari sistem yang bermasalah. Sepengetahuan saya, di dalam ekonomi akan semakin bagus jika kita bisa menekan seminimal mungkin pengeluaran, meskipun estimasinya melebihi perkiraan. Namun yang berlaku di negeri ini instansi yang bagus adalah yang bisa menghabiskan uang hingga marjin antara debet dan kredit bernilai Rp 0 alias tidak ada. Antara estimasi dan realisasi harus persis sama! Padahal kita sudah tahu bahwa itu tidak mungkin 100% sama. Logika saya mengatakan bahwa sistem seperti ini tidak manusiawi. Setiap mendekati tutup buku mulai banyak proyek-proyek fiktif yang diajukan, entah itu rapat, kunjungan kerja, pembangunan, dsb. Yang penting SPJ ada, beres. Orang bisa melakukan korupsi, dan itu legal secara hukum.

Di instansi dengan budaya ceperan yang sudah kronis, orang idealis tidak mendapat tempat. Bahkan Mas P mengatakan, orang yang tidak bisa diajak kerjasama dalam "proyek" bisa begitu saja dimutasi ke tempat lain. Dengan sistem yang memang rawan terjadi penyimpangan, orang bisa saja tergiur. Bagaimana tidak tergiur, lha penyimpangan yang dilakukan itu bisa dilegalkan. Selain itu paradigma "jika bisa dipersulit mengapa dipermudah" juga masih begitu kental. Jika ada orang datang tidak bawa ceperan, dokumennya tidak akan langsung dikerjakan. Ditunggu sampai lamaaa.. Kalau ada ceperan atau pelicin, sehari pun jadi. Kata Mas P, para pegawai kelurahan ini sudah memiliki jurus-jurus ampuh setiap kali ada orang yang mengurus sesuatu. Jurus-jurus ini dikeluarkan menyesuaikan dengan urusan orang tersebut. Ngurus surat izin usaha, beda dengan ngurus KTP, yang pasti setiap orang itu datang para pegawai akan menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan. Pertanyaan tersebut sudah dipersiapkan. Saking seringnya sudah biasa dan hafal. Jika orang yang mengurus itu tidak segera mengeluarkan uang pelicin, Mas P mengatakan "Ajur!". Ajur (baca: hancur) di sini maksudnya suratnya tidak akan juga diurus. Ya sudah, terima nasib saja nunggu sampai jamuran.

to be continued...

No comments:

Post a Comment