OPINI: Jalan Menuju Intelektual Profetik
Oleh Gading Ekapuja Aurizki
"Jadi pemimpin itu harus cerdas dan bernyali." Kalimat yang sering diucapkan oleh masbro Arif Syaifurrisal
itu terus terngiang di telinga saya. Memang benar, seorang pemimpin
harus memiliki keduanya. Pemimpin yang hanya cerdas, namun tak mampu
mengeksekusi suatu konsep yang ia susun takkan bisa membuat perubahan
apa2. Sebaliknya, kalau pemimpin hanya punya nyali namun tidak punya
narasi yang jelas, akan banyak membuat blunder yang justru merugikan
organisasinya. Lalu apa hubungannya dengan intelektual profetik?
Semuanya berawal dari wacana yang diberikan Pak Yusuf Maulana
di Sarasehan Sosmas KAMMI awal bulan Februari lalu. Saat itu beliau
membandingkan praktik berorganisasi yang dipraktikkan oleh beliau dan
beberapa orang kader senior KAMMI UIN Sunan Kalijaga yang selalu
mengedepankan filosofi, teori, dan konsep. Setelah semuanya disepakati
barulah kemudian bertindak. Model berorganisasi ini berbeda dari
kebanyakan kita yang biasanya langsung menginjak ke teknis. Model yang
dipraktikan pak Yusuf dkk ini saya sebut model teoritis, sedangkan yang
banyak kita praktikkan kita sebut model empiris.
Keunggulan
model teoritis adalah ketika kita mampu menemukan sebuah konsepsi yang
tepat, benar, dan kokoh, hal itu akan membuat gerak semakin lancar.
Konsepsi2 ini secara tak sadar ia akan menuntun laku dari orang2 yang
ada di suatu organisasi dan menanamkan sebuah keyakinan bahwa konsepsi2
itulah yang harus dijalankan/dicapai. Jika dijalankan dengan benar,
orang yang memahami konsepsi2 tersebut takkan kehilangan orientasi dan
akan lebih cepat tiba di tempat yang dituju. Namun kelemahan dari model
ini adalah "syahwat" berpikir yang terkadang berlebihan sehingga
menggeser semangat untuk berbuat. Banyak orang yang mengambil model ini
terjebak pada diskusi tanpa ujung, yang justru membuat dirinya tak
beranjak dari tempatnya memulai. Mereka merasa hanya dengan berpikir
semua masalah akan selesai, padahal hal itu tidak mungkin terjadi.
Kebalikannya, model empiris jauh lebih banyak menguras tenaga dan
pikiran. Hal itu disebabkan karena model ini lebih mengutamakan
pengalaman (experience) dan menggunakan metode coba-coba (experimental).
Trial and Error pun tak pelak menjadi makanan sehari2. Gak cocok buang,
cocok gunakan. Tentu jika menggunakan model ini akan memakan waktu yang
panjang, dan biasanya tidak responsif terhadap perubahan. Karena setiap
ada perubahan kondisi eksternal, internal organisasi harus melakukan
eksperimen/trial and error lagi untuk menyesuaikan kondisi eksternal.
Hanya saja dari sisi positif, model empiris ini akan membiasakan
seseorang untuk terus bekerja dan nantinya akan membentuk kekuatan yang
-dalam bahasa Rhenald Kasali dalam buku MYELIN- disebut intangibles.
Thomas Alva Edison menjadi ilmuwan besar juga karena model seperti ini.
Lalu model manakah yang seharusnya kita pakai? Dr. Arief Munandar
pernah menjelaskan bahwa pemimpin transformatif itu adalah mereka yang
memiliki kemampuan teortis unggul, sekaligus matang dari sisi empiris.
Kesimpulannya, secara ideal kita harus seimbang di antara keduanya. Itu
berarti bagi yang selama ini masih berhenti pada ranah diskursif, lebih
baik segera mencari wadah untuk mewujudkan konsepsi2nya. Sedangkan yang
lebih banyak bejibaku dengan pengalaman, harus mulai menggali konsep
dari segala hal yang telah dan akan dilakukan.
Dalam tulisan
saya sebelumnya yang berjudul "Disorientasi dan Pemecahannya", saya menghimbau kader KAMMI untuk
lebih mengenali KAMMI. Di sana saya menyampaikan bahwa barangkali
permasalahan yang saat ini banyak mendera kita disebabkan diri kita
tidak mengenal organisasi yang kita ikuti ini. Mengacu pada metode
berfilsafat, sebelum masuk ke ranah aksiologis (untuk apa -saya berada
di KAMMI-) dan epistemologis (bagaimana -mengelola KAMMI-), harus
selesai dulu dengan ontologisnya (apa -itu KAMMI-).
Mengenal
KAMMI adalah salah satu bentuk penguasaan teoritis, bahwa KAMMI memiliki
profil seperti ini dan itu. Urusan kader yang aktif sedikit, program
tidak jalan, dsb itu urusan lain. Intinya segala permasalahan teknis
yang ada di tubuh organisasi tak boleh mereduksi pemahaman kita tentang
bagaimana kondisi ideal organisasi. Caranya adalah terus membaca setiap
fenomena baik tekstual maupun kontekstual, mengkaji setiap permasalahan,
mengkritisi kelengahan dan kelemahan, mengkonsep sesuatu yang ideal,
memperjuangkan jika menemukan kebenaran, dst.
Mumpung masih
awal tahun, dan masih ada sisa kepengurusan, jangan bosan2 untuk
menggali lebih dalam..lebih dalam..dan lebih dalam apa itu KAMMI.
Dimulai dari AD/ART dan filosofi gerakan. Kebetulan pagi ini saya akan
mengisi Suplemen MK 1, kita tunggu gimana hasilnya.
15 Februari 2013
Jum'at dini hari
Gading Ekapuja Aurizki
Komentar dapat dilihat di sini
No comments:
Post a Comment