Friday, February 15, 2013

OPINI: Jalan Menuju Intelektual Profetik

Oleh Gading Ekapuja Aurizki

"Jadi pemimpin itu harus cerdas dan bernyali." Kalimat yang sering diucapkan oleh masbro Arif Syaifurrisal itu terus terngiang di telinga saya. Memang benar, seorang pemimpin harus memiliki keduanya. Pemimpin yang hanya cerdas, namun tak mampu mengeksekusi suatu konsep yang ia susun takkan bisa membuat perubahan apa2. Sebaliknya, kalau pemimpin hanya punya nyali namun tidak punya narasi yang jelas, akan banyak membuat blunder yang justru merugikan organisasinya. Lalu apa hubungannya dengan intelektual profetik?

Semuanya berawal dari wacana yang diberikan Pak Yusuf Maulana di Sarasehan Sosmas KAMMI awal bulan Februari lalu. Saat itu beliau membandingkan praktik berorganisasi yang dipraktikkan oleh beliau dan beberapa orang kader senior KAMMI UIN Sunan Kalijaga yang selalu mengedepankan filosofi, teori, dan konsep. Setelah semuanya disepakati barulah kemudian bertindak. Model berorganisasi ini berbeda dari kebanyakan kita yang biasanya langsung menginjak ke teknis. Model yang dipraktikan pak Yusuf dkk ini saya sebut model teoritis, sedangkan yang banyak kita praktikkan kita sebut model empiris.

Keunggulan model teoritis adalah ketika kita mampu menemukan sebuah konsepsi yang tepat, benar, dan kokoh, hal itu akan membuat gerak semakin lancar. Konsepsi2 ini secara tak sadar ia akan menuntun laku dari orang2 yang ada di suatu organisasi dan menanamkan sebuah keyakinan bahwa konsepsi2 itulah yang harus dijalankan/dicapai. Jika dijalankan dengan benar, orang yang memahami konsepsi2 tersebut takkan kehilangan orientasi dan akan lebih cepat tiba di tempat yang dituju. Namun kelemahan dari model ini adalah "syahwat" berpikir yang terkadang berlebihan sehingga menggeser semangat untuk berbuat. Banyak orang yang mengambil model ini terjebak pada diskusi tanpa ujung, yang justru membuat dirinya tak beranjak dari tempatnya memulai. Mereka merasa hanya dengan berpikir semua masalah akan selesai, padahal hal itu tidak mungkin terjadi.

Kebalikannya, model empiris jauh lebih banyak menguras tenaga dan pikiran. Hal itu disebabkan karena model ini lebih mengutamakan pengalaman (experience) dan menggunakan metode coba-coba (experimental). Trial and Error pun tak pelak menjadi makanan sehari2. Gak cocok buang, cocok gunakan. Tentu jika menggunakan model ini akan memakan waktu yang panjang, dan biasanya tidak responsif terhadap perubahan. Karena setiap ada perubahan kondisi eksternal, internal organisasi harus melakukan eksperimen/trial and error lagi untuk menyesuaikan kondisi eksternal. Hanya saja dari sisi positif, model empiris ini akan membiasakan seseorang untuk terus bekerja dan nantinya akan membentuk kekuatan yang -dalam bahasa Rhenald Kasali dalam buku MYELIN- disebut intangibles. Thomas Alva Edison menjadi ilmuwan besar juga karena model seperti ini.

Lalu model manakah yang seharusnya kita pakai? Dr. Arief Munandar pernah menjelaskan bahwa pemimpin transformatif itu adalah mereka yang memiliki kemampuan teortis unggul, sekaligus matang dari sisi empiris. Kesimpulannya, secara ideal kita harus seimbang di antara keduanya. Itu berarti bagi yang selama ini masih berhenti pada ranah diskursif, lebih baik segera mencari wadah untuk mewujudkan konsepsi2nya. Sedangkan yang lebih banyak bejibaku dengan pengalaman, harus mulai menggali konsep dari segala hal yang telah dan akan dilakukan.

Dalam tulisan saya sebelumnya yang berjudul "Disorientasi dan Pemecahannya", saya menghimbau kader KAMMI untuk lebih mengenali KAMMI. Di sana saya menyampaikan bahwa barangkali permasalahan yang saat ini banyak mendera kita disebabkan diri kita tidak mengenal organisasi yang kita ikuti ini. Mengacu pada metode berfilsafat, sebelum masuk ke ranah aksiologis (untuk apa -saya berada di KAMMI-) dan epistemologis (bagaimana -mengelola KAMMI-), harus selesai dulu dengan ontologisnya (apa -itu KAMMI-).

Mengenal KAMMI adalah salah satu bentuk penguasaan teoritis, bahwa KAMMI memiliki profil seperti ini dan itu. Urusan kader yang aktif sedikit, program tidak jalan, dsb itu urusan lain. Intinya segala permasalahan teknis yang ada di tubuh organisasi tak boleh mereduksi pemahaman kita tentang bagaimana kondisi ideal organisasi. Caranya adalah terus membaca setiap fenomena baik tekstual maupun kontekstual, mengkaji setiap permasalahan, mengkritisi kelengahan dan kelemahan, mengkonsep sesuatu yang ideal, memperjuangkan jika menemukan kebenaran, dst.

Mumpung masih awal tahun, dan masih ada sisa kepengurusan, jangan bosan2 untuk menggali lebih dalam..lebih dalam..dan lebih dalam apa itu KAMMI. Dimulai dari AD/ART dan filosofi gerakan. Kebetulan pagi ini saya akan mengisi Suplemen MK 1, kita tunggu gimana hasilnya.

15 Februari 2013
Jum'at dini hari
Gading Ekapuja Aurizki
 
Komentar dapat dilihat di sini

No comments:

Post a Comment