Oleh
Gading Ekapuja Aurizki
Pemandangan berbeda saya temukan ketika
mengunjungi SMP 2 Madiun Sabtu siang kemarin (19/5). Terakhir mengunjungi
sekolah pertengahan tahun 2010 yang lalu, kondisi gedung sekolah tak jauh berbeda
dengan saat saya lulus SMP tahun 2007. Hanya ada penambahan ruang kelas di
lantai 2 gedung selatan.
Namun sekarang, kondisi sekolah sudah
sangat jauh berbeda. Gedung sekolah tampak di mark-up habis-habisan dengan dominan warna hijau, disertakan pula
tulisan visi misi sekolah di sejumlah tembok. Beberapa sudut dibangun, seperti
penambahan keramik dan pembangunan panggung aula. Yang baru adalah gazebo dari
kursi dan meja kayu, serta keberadaan “laboratorium” tanaman di salah satu
sudut sekolah.
Dari seorang staf tata usaha saya mengetahui
alasan dibalik perubahan besar-besaran itu, yaitu untuk menyambut penganugerahan
Adiwiyata dari Kementerian Lingkungan Hidup.
* * *
Lembaga pendidikan sekarang tampaknya
memiliki penyakit yang sama. Baik kampus maupun sekolah, sekarang orientasnya
mendapatkan titel dan nilai baik saat akreditasi. Hal itu menjadikan pengelola lembaga
pendidikan lebih sibuk melakukan pencitraan lembaga ketimbang fokus membangun
karakter siswanya.
Jika dicermati, ternyata titel atau nilai
akreditasi tidak berpengaruh secara signifikan pada perkembangan karakter siswa.
Tidak juga mendongkrak prestasi akademik atau non-akademiknya. Titel dan
akreditasi lebih banyak berpengaruh pada; (1) Citra lembaga; (2) Pembiayaan dan
fasilitas; dan (3) Kerja sama.
Citra lembaga biasanya berbanding lurus
pada kualitas pendaftar (input).
Sedangkan kualitas lulusan (output)
tetap ditentukan oleh kualitas produk pendidikan dengan berbagai instrumen
pendukungnya. Adapun jika titel dan akreditasi itu memang memiliki pengaruh,
pasti alokasinya lebih banyak ke instrumen pendukung seperti; kelengkapan
fasilitas, kucuran dana, dan jejaring yang luas. Semuanya itu hanyalah suplemen
bagi pendidikan. Sedangkan nutrisi pokok yang harus dipenuhi adalah Kegiatan
Belajar Mengajar (KBM) yang diselenggarakan dengan berorientasi pada pembentukan
karakter peserta didik.
Untuk mencapai kualitas pendidikan terbaik,
pembiayaan dan fasilitas memang mutlak diperlukan. Seperti kata pepatah Jawa, “Jer basuki mawa beya” –Barangsiapa ingin
sukses, membutuhkan biaya-. Biaya di sini bisa di artikan uang maupun
fasilitas, ada juga yang mengartikan kerja keras. Namun mutlaknya kebutuhan
pembiayaan dan fasilitas ini tidak lantas menjadikannya yang utama. Justru yang
utama adalah idealisme guru dalam usaha mencerdaskan peserta didiknya. Biaya
atau fasilitas mengikuti.
Memang, titel dan akreditasi yang baik
mempermudah lembaga pendidikan untuk menjalin kerja sama dengan pihak luar.
Lembaga pendidikan di luar negeri misalnya, sebelum memutuskan untuk menjalin
kerja sama biasanya melihat titel dan hasil akreditasi lembaga terkait. Namun
sekali lagi kerja sama itu harus berorientasi pada pembentukan karakter siswa,
tidak sekedar ngopeni –mengurus- peserta
didik lembaga/negara lain untuk dibawa ke sana kemari tanpa ada dampak terhadap
peningkatan kualitas peserta didik sendiri.
Saya menyampaikan beberapa hal di atas
bukan berarti saya alergi terhadap titel dan akreditasi. Sama sekali tidak!
Saya pun memahamai bahwa di era global seperti sekarang kualitas suatu produk
harus terukur, dan akreditasi adalah salah satu caranya. Namun yang saya
khawatirkan adalah ketika akreditasi dijadikan segala-galanya. Perlu ada
perubahan mindset bahwa akreditasi
adalah tugas ekstra bagi lembaga pendidikan yang memang ingin lebih unggul dari
lembaga lain. Namun tugas utamanya tidak boleh ditinggalkan, yaitu –seperti
yang saya katakan sebelumnya- membangun karakter peserta didik.
Membangun
Jiwa
Jika mencermati lirik lagu Indonesia Raya
ciptaan WR Supratman kita akan mendapati bait yang berbunyi, “Bangunlah jiwanya
bangunlah badannya.” Artinya apa? Sebelum membangun badan (fisik), harus
dibangun jiwanya terlebih dahulu. Sebelum memperbaiki gedung, menambah
fasilitas, dan memperluas jaringan, yang harus dipenuhi pertama kali adalah
jiwa pembelajar para peserta didik, yaitu kekritisan, keingintahuan (curiosity), dan kepedulian. Sehingga di
awal-awal peserta didik harus diajari bagaimana mencintai ilmu sebelum disuguhi
berbagai macam fasilitas. Diajari untuk apa ilmu itu sebelum diberi nilai. Kesimpulannya
adalah sebelum mengunggulkan jargon-jargon dan pencitraan, perbaikan kualitas
pendidikan harus didahulukan.
jadi ketika instansi mengejar titel tanpa perbaikan SDM, bisa jadi kriteria penilaian yang memang tidak mensyaratkan itu. penilaian hanya dilihat dari tampilan fisik saja.
ReplyDeletekualitas SDM itu sendiri juga sulit diukur..tidak sekedar dari perolehan tropi/medali.
DeleteTitel pasti memasukkan variabel SDM, tapi jika melihat realita di lapangan, semua terkesan dipaksakan..misalnya di SMP 2 Madiun yg mengejar Adiwiyata, semua diubah seolah2 berbau lingkungan hidup..karya2 siswa berbau lingkungan hidup, di kelas selain mading akademik ada mading LH. Bahkan misinya juga diganti --tidak seperti misi yg dulu ana tahu- jadi ada bau2 "berbudaya lingkungan hidupnya."
Keluhan dari teman2 yg masih mengawal Pramuka-ny, bnyak yg merasa character building tdak lagi ditekankan..