Oleh
Gading Ekapuja Aurizki*
Pernahkah Anda berpikir bagaimana caranya
bangkit dari duduk? Jika belum, cobalah praktikan sekarang juga, dan amati.
Dimulai ketika Anda menginginkan untuk
berdiri [1]. Otak mengolah pesan tersebut, yang selanjutnya dihantarkan ke
seluruh tubuh melalui saraf. Pesan itu merupakan arahan/perintah bagi seluruh
organ agar sama-sama mempersiapkan diri untuk melakukan gerakan [2]. Berat
tubuh yang semula bertumpu pada pantat dipindahkan ke kaki [3]. Setelah itu
beberapa organ gerak berkoordinasi menghimpun kekuatan untuk mempersiapkan
gerakan, terutama otot kaki yang menjadi tumpuan utama untuk bangkit [4]. Sehingga
saat “hentakan” dilakukan, kaki bisa menahan tubuh tetap seimbang [5]. Saat
itulah tubuh kita dikatakan BANGKIT dari duduk.
Dari fenomena ini saya bisa merumuskan beberapa
step kebangkitan:
[1]. Inisiasi
[2]. Internalisasi-visi
[3]. Migrasi
[4]. Konsolidasi
[5]. Eksekusi
Mengacu pada fisiologi kebangkitan di
atas, sebuah usaha bisa disebut kebangkitan ketika sudah memasuki tahap eksekusi.
Ketika segalanya telah siap, dan tinggal menanti “hentakan” terakhir itulah
yang dimaksud kebangkitan. Sedangkan proses-proses sebelumnya lebih cocok
disebut persiapan menuju kebangkitan.
Namun yang sering kita jumpai selama ini,
kebangkitan dianggap sebagai titik awal sebuah perubahan (insiasi). Hal itu
membuat ada pihak yang “menjual” istilah kebangkitan –maupun bangkit- sebagai propaganda
tanpa sebelumnya melakukan kerja nyata. Istilah kebangkitan hanya digunakan
sebagai jargon-jargon kosong yang tidak ada progres ke depannya.
Pun dengan dipilihnya tanggal 20 Mei 1908
atau kelahiran Budi Utomo sebagai hari kebangkitan nasional –terlepas dari berbagai
konflik dan kontroversi atas penisbatannya kepada mereka- adalah baru memasuki
tahap inisiasi. Untuk alasan mengapa tanggal 20 Mei dipilih sebagai hari
kebangkitan nasional, kita tidak perlu sibuk membahasnya karena bukan hal yang
esensial. Yang pasti, inisiasi yang dilakukan oleh pendiri Budi Utomo berhasil
menhantarkan bangsa Indonesia pada puncak eksekusi kebangkitan, yaitu
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945.
Inisiasi kebangkitan dimulai dari keresahan
mendalam terhadap suatu kondisi masyarakat yang dinilai jauh dari nilai-nilai
ideal. Sampai pada akhirnya ada beberapa orang yang berpikir tentang fenomena
tersebut dan kemudian berniat untuk melakukan perbaikan. Jika dalam sirah
nabawiyah, tahap ini merupakan tahapan ketika Rasulullah saw. berkhalwat di gua
hira, menerima wahyu kenabian dan kerasulan, sampai dakwah secara
sembunyi-sembunyi di kalangan terbatas.
Sedangkan tahapan internalisasi ini
dimulai ketika ide-ide hasil inisiasi disebarluaskan kepada khalayak luas. Saya
tidak menyebutnya sosialisasi karena sosialisasi hanyalah salah satu tahapan
untuk internalisasi. Sebelum melakukan internalisasi-visi kepada para pendukung
kebangkitan pastilah ada sosialisasinya. Hal ini saya temui ketika berkunjung
ke Semarang beberapa minggu lalu. Dalam seminar bertajuk konsolidasi
ke-Indonesia-an, Gerakan Beli Indonesia yang diinisiasi Pak Heppy Trenggono berusaha
diinternalisasikan kepada peserta seminar. Gerakan seperti ini mulai banyak berkembang sekarang.
Tahap internalisasi visi ini juga dilalui
oleh Rasulullah saw. yaitu ketika membina keimanan para sahabat pada periode
Makkah selama 13 tahun. Saat itu belum turun ayat-ayat yang mengatur syariat. Wahyu
yang turun pada periode Makkah lebih banyak berbicara tentang tauhid dan aqidah.
Inilah yang dimaksud internalisasi-visi.
Tahap selanjutnya, yaitu migrasi, yang merupakan
tahap pemindahan tumpuan. Bahasa populernya adalah hijrah. Jika dikaitkan dengan konteks sekarang mungkin adalah regenerasi
kepemimpinan dari generasi tua ke generasi yang lebih muda. Saya sepakat dengan
Taufik Kiemas yang menghimbau kepada tokoh-tokoh tua untuk tidak mencalonkan
diri sebagai presiden. Tokoh tertua yang naik menjadi presiden adalah BJ
Habibie. Beliau menggantikan Soeharto pada usia 62 tahun. Sedangkan presiden termuda
adalah Ir. Soekarno, yang dilantik saat beliau masih berusia 44 tahun.
Setelah pemindahan tumpuan dilakukan,
perlu adanya penguatan-penguatan. Pada tahap konsolidasi hal itu dilakukan. Kekuatan-kekuatan
yang ada dikumpulkan untuk disinergikan visi-misinya. Beberapa sektor dikuatkan,
disiplin dijalankan, dan beberapa aturan disepakati.
Setelah hijrah, Rasulullah saw. melakukan
penguatan pilar-pilar kenegaraan. Beliau mendirikan masjid, mempersaudarakan
antara Anshar dan Muhajirin, memperkuat angkatan perang, menjalin perjanjian dengan
Yahudi dan Nashrani Madinah lewat Piagam Madinah, dan lain sebagainya. Pada fase
inilah konsolidasi kebangkitan dilakukan.
Yang terakhir adalah tahapan eksekusi. Inilah
wujud kebangkitan yang sesungguhnya. Fase ini sama dengan ketika seorang
penembak menekan pelatuknya dan pemanah melepaskan anak panahnya. Jadi kebangkitan
ibarat pukulan terakhir dari sekian proses yang telah dipersiapkan. Dari kacamata
pergerakan, gerakan kebangkitan Islam dimulai setelah hijrah. Namun dari
kacamata perkembangan Islam secara global, kebangkitan itu dimulai ketika
kemenangan menaklukkan Makkah dalam peristiwa Fathu Makkah. Setelah itulah
Islam berkembang pesat dan tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Lantas, di tahap yang mana Indonesia berada
saat ini? Menurut saya pribadi, Indonesia masih di tahap internalisasi-visi. Itu
dikarenakan kita masih sering kehilangan arah dalam menjalankan fungsi negara. Dasar-dasar
negara mulai kembali dibedah, proses ideologisasi sedang diusahakan, sedangkan
proses pergantian kepemimpinan belum dilakukan. Sehingga kesimpulannya, kita
masih berada di tahap internalisasi-visi.
Kebangkitan Indonesia memang masih jauh
dari angan. Namun itu bukanlah alasan bagi kita untuk menyerah. Jika kebangkitan
itu masih jauh, maka tugas kita adalah berusaha mendekatinya sedekat mungkin. Sehingga
generasi penerus kita kelak bisa meneruskan perjuangan kita mewujudkan
kebangkitan Indonesia yang sebenar-benarnya. Bukan jargon omong kosong belaka.
Semoga!
*Penulis
adalah Ketua Pengurus Komisariat KAMMI Airlangga 2012-2013
No comments:
Post a Comment