Oleh Gading Ekapuja Aurizki [1]
Sebagai negara yang menjunjung tinggi
pluralitas, Indonesia pantas disebut sebagai pasar ideologi. Ideologi kiri mentok sampai kanan njedok bisa tumbuh di sini. Setiap ideologi memiliki kelompok-kelompok
pengusung, dan setiap pengusung memiliki model perjuangan masing-masing.
Membahas Islam di Indonesia secara khusus,
banyak organisasi yang menyebut Islam sebagai basis ideologi maupun kulturnya. Semuanya
tidak berada dalam satu wadah, melainkan berbeda-beda. Ada NU, Muhammadiyah,
Tarbiyah, Hizbut Tahrir, Salafy, Jamaah Tabligh, dan lain-lain. Namun semuanya
masih dalam bingkai yang sama: Islam.
Anehnya, meski sama-sama Islam, antar
golongan tersebut masih sulit untuk akur. Selalu saja ada perseteruan, baik
dalam skala mikro (praksis lapangan) maupun makro (manhaj dan kebijakan). Dan
yang paling disayangkan adalah, perseteruan mereka adalah dalam hal-hal yang
sifatnya furu’ (cabang), terutama dalam
masalah fiqh. Baik itu fiqh dalam hal ibadah, maupun dalam
konsep kenegaraan. Juga dalam strategi dakwah.
Hal tersebut sungguh disayangkan,
mengingat musuh dakwah semakin getol menebarkan “serangan” yang menyudutkan
Islam. Selain itu, musuh dakwah juga semakin solid mengorganisasi gerakan
mereka. Kita bisa melihat bagaimana para Evangelian
dan Zionis bekerja sama dalam
mengusung The New World Order meski
mereka tak seagama. Sangat tepat Ali bin Abi Thalib ra. mengatakan bahwa
kejahatan yang terorganisasi akan dapat mengalahkan kebaikan yang tidak
terorganisir.
Disadari atau tidak perseteruan itu
membuat negeri yang membuat negeri gemah
ripah loh jinawi ini masih saja terpuruk. Energi yang seharusnya digunakan
untuk membangun negeri habis hanya untuk berdebat dan berdiskusi. Lihatlah
bagaimana kita masih dibuat repot oleh rencana kedatangan seorang Lady Gaga. Lihatlah
ketika kawan-kawan kita yang notabene sama-sama muslim lebih memilih membela
Lady Gaga dibandingkan mendengarkan nasihat bijak para ulama. Itu karena umat
Islam tidak lagi memiliki kewibawaan di hadapan para penentang dakwah. Dan
hilangnya kewibawaan itu –salah satunya- disebabkan lemahnya soliditas gerakan
kita!
Apa yang membuat antara masyarakat NU dan
Muhammadiyah sering terlibat konflik, dan apa pula yang menyebabkan kader
Tarbiyah dan Hizbut Tahrir tidak bosan untuk terus berdebat? Selain itu apa
yang menyebabkan orang-orang mencurigai dakwah salafy dan JT? Dan apa yang membuat semua harakah Islam tak bisa saling akur??
Yang pasti, bukan masalah aqidah. Karena
kita sama-sama mengaku tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad saw. adalah
rasul Allah. Meyakini secara lurus rukun iman pertama sampai keenam, dan
mengamalkan rukun Islam satu sampai lima. Selama tidak kerasukan virus sepilis (sekularisme, pluralisme,
dan liberalisme), saya yakin kita masih termasuk ahlus-sunnah wal-jama’ah.
Tetapi jika ternyata pertentangan itu
masih terasa, mungkin saja aqidah kita yang bermasalah. Kita tak lagi merasa
satu aqidah, oleh sebab menjadikan salah satu di antara manhaj perjuangan
golongan sebagai unsur dari aqidah. Dari itu muncullah fenomena takfir (mengkafirkan orang lain). Padahal
pada ayat-ayat awal QS Al-Baqarah sudah sangat jelas kalau ada tiga tipe
manusia dilihat dari kacamata keimanan: muttaqin,
kafirin, dan munafiqin. Kalau kafirin
dan munafiqin saja bisa akur, namun
kenapa golongan yang mengaku muttaqin
harus terpecah belah?!
Atau jangan-jangan sebenarnya kita masuk
golongan munafiqin? Yang ketika diberi
peringatan agar jangan berbuat
kerusakan justru merasa sedang mengadakan
perbaikan [2]! Semoga kita tidak seperti itu.
Dalam QS Al-Baqarah 143, Allah swt. menyebut
umat Islam sebagai ummatan wasathan
–umat pertengahan-, yang oleh Sayyid Quthb di Tafsir Fii Zhilalil Qur’an mencakup makna wasath (baik), yang diambil dari kata wisaathah yang berarti bagus dan utama, maupun dari kata wasath yang berarti adil dan seimbang
atau wasath dalam arti material
indrawi.
Konsekuensi dari gelar ummatan wasathan adalah menjadi saksi
atas perbuatan manusia, dan Rasulullah saw. menjadi saksi atasnya. Pengertian wasathan –pertengahan- di sini bukan sekedar
moderat, melainkan menjadi standar global atas seluruh perbuatan
manusia. Artinya, sebagai standar global, umat Islam harus mengetahui segala
hal terkait dengan perbuatan manusia untuk nanti di-“laporkan” kepada yang
mengangkatnya menjadi saksi, yakni Allah swt..
Namun yang perlu diingat, sebagaimana
saksi pada umumnya, kita hanya memberikan laporan (report), bukan penilaian (judgment).
Karena Allah Al-Hakim lah yang nanti akan memberi penilaian. Oleh karena itu
dalam bermuamalah, semangat ummatan
wasathan itu harus kita bawa. Kita tidak boleh sembarang men-judge sikap, pilihan, atau jalan
seseorang sebelum terang benar-salah jalan yang mereka pilih. Apalagi jika itu
sesama muslim, dan sama-sama sedang memperjuangkan dakwah.
Kalaupun sudah terang salahnya, kita juga
tidak secara membabi buta dalam mengungkap kesalahan/aib mereka. Karena selain
benar-salah, Islam juga mengajarkan untuk memperhatikan adab. Nabi Musa as. saja
oleh Allah diperintahkan untuk bersikap lemah lembut kepada Fir’aun yang mengaku
tuhan [3]. Kalau seperti itu, apakah kita berhak untuk mencaci saudara kita
seiman lantaran perbedaan pandangan? Sepertinya kita perlu kembali pada prinsip
“bekerja sama dalam hal yang disepakati dan toleransi dalam hal yang tidak
disepakati (berbeda).”
Jujur saya merasa miris ketika melihat
“pembantaian” lewat komentar-komentar di wall
sebuah grup facebook oleh aktivis mahasiswa, terhadap syiar
dakwah sebuah organisasi mahasiswa Islam di Unair. Jika itu dilakukan dengan
cara yang santun dan intelek mungkin tidak masalah, tetapi justru itu dilakukan
dengan tidak bersandar pada etika ilmiah dan adab berdiskusi. Semua orang
menyerang organisasi tersebut lantaran tujuannya dianggap irasional dan dalam
praktik pencapaian tujuannya dinilai inkonsisten.
Sebagai sama-sama aktivis dalam sebuah
organisasi mahasiswa Islam, saya turut prihatin dengan kondisi tersebut.
Kondisi di sana seakan menunjukkan bahwa aktivis mahasiswa sekarang mulai
hilang adab sopan santunnya, tidak peduli mereka aktivis Islam atau bukan.
Apalagi fenomena itu terjadi di dunia maya, yang secara psikologis memudahkan
orang untuk menyampaikan pendapat tanpa khawatir adanya intimidasi secara
langsung/fisik. Sosok dibalik komentar-komentar pedas itu merasa terlindungi oleh
“layar kaca” yang membatasinya dengan orang lain. Tetapi mereka lupa, kalau cacian,
cemoohan, dan gunjingan mereka di dunia maya tetap dicatat oleh malaikat dalam
kitab amal perbuatan.
Mempertimbangkan beberapa hal di atas, dengan
membawa semangat sebagai ummatan wasathan,
kita seharusnya tidak terjebak dalam pusaran yang penuh syubhat dan mudharat.
Untuk itu saya menghimbau kepada kader-kader KAMMI khususnya dan para aktivis
mahasiswa umumnya untuk: (1) Menghindari perdebatan meskipun berada dalam pihak
yang benar; (2) Lebih mengedepankan dialog dengan bingkai ukhuwah dalam sebuah forum silaturahim daripada debat dalam forum
publik yang tak terkondisikan; dan (3) Tidak membuat forum-forum yang lebih
banyak mudharat-nya dibandingkan mashlahat-nya, seperti berpotensi
terjadi chaos dan debat kusir. Wallahua’lam bish-shawwab.
Surabaya,
26 Mei 2012
Catatan:
[1]
Ketua Pengurus Komisariat KAMMI Airlangga 2012-2013
[2] Di dalam QS Al-Baqarah 11
[3] Di dalam QS Thaha 43-44
[2] Di dalam QS Al-Baqarah 11
[3] Di dalam QS Thaha 43-44
No comments:
Post a Comment