Saturday, May 26, 2012

Wa’tashimuu bi-Hablillahi Jami’an wa Laa Tafarraquu


Oleh Gading Ekapuja Aurizki [1]

Sebagai negara yang menjunjung tinggi pluralitas, Indonesia pantas disebut sebagai pasar ideologi. Ideologi kiri mentok sampai kanan njedok bisa tumbuh di sini. Setiap ideologi memiliki kelompok-kelompok pengusung, dan setiap pengusung memiliki model perjuangan masing-masing.

Membahas Islam di Indonesia secara khusus, banyak organisasi yang menyebut Islam sebagai basis ideologi maupun kulturnya. Semuanya tidak berada dalam satu wadah, melainkan berbeda-beda. Ada NU, Muhammadiyah, Tarbiyah, Hizbut Tahrir, Salafy, Jamaah Tabligh, dan lain-lain. Namun semuanya masih dalam bingkai yang sama: Islam.

Anehnya, meski sama-sama Islam, antar golongan tersebut masih sulit untuk akur. Selalu saja ada perseteruan, baik dalam skala mikro (praksis lapangan) maupun makro (manhaj dan kebijakan). Dan yang paling disayangkan adalah, perseteruan mereka adalah dalam hal-hal yang sifatnya furu’ (cabang), terutama dalam masalah fiqh. Baik itu fiqh dalam hal ibadah, maupun dalam konsep kenegaraan. Juga dalam strategi dakwah.

Hal tersebut sungguh disayangkan, mengingat musuh dakwah semakin getol menebarkan “serangan” yang menyudutkan Islam. Selain itu, musuh dakwah juga semakin solid mengorganisasi gerakan mereka. Kita bisa melihat bagaimana para Evangelian dan Zionis bekerja sama dalam mengusung The New World Order meski mereka tak seagama. Sangat tepat Ali bin Abi Thalib ra. mengatakan bahwa kejahatan yang terorganisasi akan dapat mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir.

Disadari atau tidak perseteruan itu membuat negeri yang membuat negeri gemah ripah loh jinawi ini masih saja terpuruk. Energi yang seharusnya digunakan untuk membangun negeri habis hanya untuk berdebat dan berdiskusi. Lihatlah bagaimana kita masih dibuat repot oleh rencana kedatangan seorang Lady Gaga. Lihatlah ketika kawan-kawan kita yang notabene sama-sama muslim lebih memilih membela Lady Gaga dibandingkan mendengarkan nasihat bijak para ulama. Itu karena umat Islam tidak lagi memiliki kewibawaan di hadapan para penentang dakwah. Dan hilangnya kewibawaan itu –salah satunya- disebabkan lemahnya soliditas gerakan kita!

Apa yang membuat antara masyarakat NU dan Muhammadiyah sering terlibat konflik, dan apa pula yang menyebabkan kader Tarbiyah dan Hizbut Tahrir tidak bosan untuk terus berdebat? Selain itu apa yang menyebabkan orang-orang mencurigai dakwah salafy dan JT? Dan apa yang membuat semua harakah Islam tak bisa saling akur??

Yang pasti, bukan masalah aqidah. Karena kita sama-sama mengaku tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad saw. adalah rasul Allah. Meyakini secara lurus rukun iman pertama sampai keenam, dan mengamalkan rukun Islam satu sampai lima. Selama tidak kerasukan virus sepilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme), saya yakin kita masih termasuk ahlus-sunnah wal-jama’ah.

Tetapi jika ternyata pertentangan itu masih terasa, mungkin saja aqidah kita yang bermasalah. Kita tak lagi merasa satu aqidah, oleh sebab menjadikan salah satu di antara manhaj perjuangan golongan sebagai unsur dari aqidah. Dari itu muncullah fenomena takfir (mengkafirkan orang lain). Padahal pada ayat-ayat awal QS Al-Baqarah sudah sangat jelas kalau ada tiga tipe manusia dilihat dari kacamata keimanan: muttaqin, kafirin, dan munafiqin. Kalau kafirin dan munafiqin saja bisa akur, namun kenapa golongan yang mengaku muttaqin harus terpecah belah?!

Atau jangan-jangan sebenarnya kita masuk golongan munafiqin? Yang ketika diberi peringatan agar jangan berbuat kerusakan justru merasa sedang mengadakan perbaikan [2]! Semoga kita tidak seperti itu.

Dalam QS Al-Baqarah 143, Allah swt. menyebut umat Islam sebagai ummatan wasathan –umat pertengahan-, yang oleh Sayyid Quthb di Tafsir Fii Zhilalil Qur’an mencakup makna wasath (baik), yang diambil dari kata wisaathah yang berarti bagus dan utama, maupun dari kata wasath yang berarti adil dan seimbang atau wasath dalam arti material indrawi.

Konsekuensi dari gelar ummatan wasathan adalah menjadi saksi atas perbuatan manusia, dan Rasulullah saw. menjadi saksi atasnya. Pengertian wasathan –pertengahan- di sini bukan sekedar moderat, melainkan menjadi standar global atas seluruh perbuatan manusia. Artinya, sebagai standar global, umat Islam harus mengetahui segala hal terkait dengan perbuatan manusia untuk nanti di-“laporkan” kepada yang mengangkatnya menjadi saksi, yakni Allah swt..

Namun yang perlu diingat, sebagaimana saksi pada umumnya, kita hanya memberikan laporan (report), bukan penilaian (judgment). Karena Allah Al-Hakim lah yang nanti akan memberi penilaian. Oleh karena itu dalam bermuamalah, semangat ummatan wasathan itu harus kita bawa. Kita tidak boleh sembarang men-judge sikap, pilihan, atau jalan seseorang sebelum terang benar-salah jalan yang mereka pilih. Apalagi jika itu sesama muslim, dan sama-sama sedang memperjuangkan dakwah.

Kalaupun sudah terang salahnya, kita juga tidak secara membabi buta dalam mengungkap kesalahan/aib mereka. Karena selain benar-salah, Islam juga mengajarkan untuk memperhatikan adab. Nabi Musa as. saja oleh Allah diperintahkan untuk bersikap lemah lembut kepada Fir’aun yang mengaku tuhan [3]. Kalau seperti itu, apakah kita berhak untuk mencaci saudara kita seiman lantaran perbedaan pandangan? Sepertinya kita perlu kembali pada prinsip “bekerja sama dalam hal yang disepakati dan toleransi dalam hal yang tidak disepakati (berbeda).”

Jujur saya merasa miris ketika melihat “pembantaian” lewat komentar-komentar di wall sebuah grup facebook oleh aktivis mahasiswa, terhadap syiar dakwah sebuah organisasi mahasiswa Islam di Unair. Jika itu dilakukan dengan cara yang santun dan intelek mungkin tidak masalah, tetapi justru itu dilakukan dengan tidak bersandar pada etika ilmiah dan adab berdiskusi. Semua orang menyerang organisasi tersebut lantaran tujuannya dianggap irasional dan dalam praktik pencapaian tujuannya dinilai inkonsisten.

Sebagai sama-sama aktivis dalam sebuah organisasi mahasiswa Islam, saya turut prihatin dengan kondisi tersebut. Kondisi di sana seakan menunjukkan bahwa aktivis mahasiswa sekarang mulai hilang adab sopan santunnya, tidak peduli mereka aktivis Islam atau bukan. Apalagi fenomena itu terjadi di dunia maya, yang secara psikologis memudahkan orang untuk menyampaikan pendapat tanpa khawatir adanya intimidasi secara langsung/fisik. Sosok dibalik komentar-komentar pedas itu merasa terlindungi oleh “layar kaca” yang membatasinya dengan orang lain. Tetapi mereka lupa, kalau cacian, cemoohan, dan gunjingan mereka di dunia maya tetap dicatat oleh malaikat dalam kitab amal perbuatan.

Mempertimbangkan beberapa hal di atas, dengan membawa semangat sebagai ummatan wasathan, kita seharusnya tidak terjebak dalam pusaran yang penuh syubhat dan mudharat. Untuk itu saya menghimbau kepada kader-kader KAMMI khususnya dan para aktivis mahasiswa umumnya untuk: (1) Menghindari perdebatan meskipun berada dalam pihak yang benar; (2) Lebih mengedepankan dialog dengan bingkai ukhuwah dalam sebuah forum silaturahim daripada debat dalam forum publik yang tak terkondisikan; dan (3) Tidak membuat forum-forum yang lebih banyak mudharat-nya dibandingkan mashlahat-nya, seperti berpotensi terjadi chaos dan debat kusir. Wallahua’lam bish-shawwab.


Surabaya, 26 Mei 2012


Catatan:
[1] Ketua Pengurus Komisariat KAMMI Airlangga 2012-2013
[2] Di dalam QS Al-Baqarah 11
[3] Di dalam QS Thaha 43-44

No comments:

Post a Comment