Thursday, February 7, 2013

Resensi: Samurai Tanpa Pedang

Oleh Gading Ekapuja A.

Judul Buku: The Swordless Samurai: Pemimpin Legendaris Jepang Abad XVI
Pengarang : Kitami Misao (ed. Tim Clark)
Halaman : xviii+262 hlm.
Terbit : Agustus 2009 (Cetakan ke-2)
Penerbit : RedLine Publishing

Ketika mendengar kata Samurai pasti yang terlintas di pikiran kita adalah seorang pendekar pedang dari Jepang. Namun bagaimana jika seorang samurai tanpa pedang (swordless)? Tapi itulah yang dikisahkan dalam The Swordless Samurai, sebuah novel fiksi-historis karya Kitami Masao yang mengisahkan tentang seorang samurai yang sukses menyatukan Jepang. Dia adalah sang Samurai Tanpa Pedang, Toyotomi Hideyoshi.

Kisah Toyotomi Hideyoshi dalam The Swordless Samurai diambil dari novel Taiko karya Eiji Yoshikawa. Bedanya, Taiko secara detail menceritakan kisah tiga tokoh utama, Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi, dan Tokugawa Ieashu. Sedangkan The Swordless Samurai hanya fokus bercerita tentang Hideyoshi saja. Sehingga bisa dikatakan novel ini adalah mini series-nya Taiko.

Novel ini mengambil sudut pandang orang pertama, sehingga pembaca seolah diajak berbicara langsung oleh Hideyoshi dan terlibat dalam gagasan-gagasannya. Bahasanya yang mengalir membuatnya menjadi seperti diary tempat Hideyoshi curhat tentang kisah hidupnya sejak kecil hingga menjadi penguasa tertinggi Jepang.

Kisah dimulai ketika Hideyoshi menghadap Oda Nobunaga, memintanya menerima dirinya sebagai abdi. Setelah itu alur maju di mana Hideyoshi sudah menjadi pemegang kedaulatan tertinggi Jepang, dan mengatakan tentang kondisinya sekarang. Ia kemudian mulai menceritakan kisahnya semasa kecil, keluarganya, kemampuannya, kepemimpinannya, dan memberikan julukan kepada dirinya sendiri. Ia mengatakan, “Kode etik samurai bukan sekedar meliputi penggunaan senjata, yang menguntungkan untukku, karena aku punya reputasi sebagai petarung terburuk dalam sejarah Jepang! Namun senjata paling ampuh yang kumiliki adalah benakku: Kau bisa menyebutku samurai tanpa pedang.” (hal.4)

Setelah itu alur terus maju dan meloncat-loncat, berkisah tentang hidupnya sebelum mengabdi kepada Nobunaga, ketika ia bekerja sebagai seorang pedagang, dan saat menjadi abdi bagi Klan Matsushita hingga dipecat karena difitnah oleh abdi lain yang iri dengan pretasi kerjanya. Setelah itu kisah kembali ke titik awal saat ia meminta Nobunaga agar mau menerimanya menjadi abdi.

Hideyoshi mulai bekerja kepada Nobunaga saat berusia delapan belas tahun. Karirnya dimulai dari seorang pembawa sandal, penjaga gudang dan kandang kuda, pengelola kayu bakar, prajurit infanteri, dan terus menanjak dalam waktu singkat hingga menjadi salah satu tangan kanan Nobunaga. Ketika Nobunaga terbunuh secara keji, Hideyoshi lah yang berinisiatif memimpin pasukan untuk membalas dendam kematian tuannya. Ia juga dengan cerdik mencegah perpecahan Klan Oda akibat perseteruan memperebutkan takhta yang ditinggalkan Nobunaga. Bahkan karena kecerdikannya itu ia ditunjuk menjadi wali dari pewaris sah takhta Nobunaga (hal. 95).

Setelah menempati posisi tertinggi di Klan Oda, ia pun meneruskan visi tuannya untuk menyatukan Jepang. Keahliannya dalam bernegosiasi menjadi modal utama baginya menjadi seorang negarawan. Ia pun membanggakan kemampuannya itu. Di dalam bab 5 tertulis, “Sebagian besar penaklukan yang kulakukan terjadi tanpa pertumpahan darah, dan banyak orang berkata bahwa aku adalah diplomat terbaik dalam sejarah Jepang.” (hal. 101). Bahkan, ia berani mengkritik cara Nobunaga yang lebih mementingkan kekuatan dan intimidasi ketimbang diplomasi (hal. 126).

Kelebihan novel The Swordless Samurai adalah kisahnya yang cukup lengkap merekam perjalanan karir Hideyoshi. Di dalamnya tidak hanya terkandung pelajaran bagaimana menjadi pemimpin yang baik, namun juga bagaimana menjadi bawahan yang baik. Hal itu ditunjukkan dalam kisah-kisah Hideyoshi selama mengabdi kepada Nobunaga. Sedangkan kisah-kisah kepemimpinannya lebih banyak diceritakan setelah ia menjadi pemimpin Klan Oda, menguasai daerah-daerah, hingga menjadi pemimpin tertinggi Jepang.

Di setiap akhir sub-bab terdapat pelajaran-pelajaran penting yang penulisannya diberi cetak miring. Dengan pelajaran itu Hideyoshi menasihati pembaca tentang apa yang harus mereka lakukan ketika memimpin maupun ketika dipimpin. Ini memudahkan pembaca untuk mengambil kesimpulan dari setiap kisah yang diceritakan panjang lebar.

Kelemahan novel ini adalah kronologinya yang kurang jelas. Meskipun secara garis besar plotnya maju mengikuti jenjang karir Hideyoshi, kisah-kisah kecil yang ada dalam setiap subbab melompat-lompat tergantung tema bab. Namun h
al ini juga ada untungnya, yakni membuat pembaca tidak mudah bosan dengan kisah yang terlalu panjang.
Penerbit juga sepertinya mengetahui kelemahan ini sehingga di bagian belakang buku terdapat ikhtisar kronologi hidup Hideyoshi mulai lahir hingga meninggal untuk menutupi kronologi yang kurang jelas. Terlepas dari beberapa kelemahan tersebut, The Swordless Samurai tetaplah menjadi novel yang layak menjadi referensi bagi mereka yang ingin menjadi seorang pemimpin.

*Komentar tentang karya ini dapat dilihat di sini.

[@nersgarawan]

2 comments:

  1. Huaaaa... aku nge-fans berat sama Toyotomi Hideyoshi. Sugoiiii ne~
    Buku ini recommended banget buat siapa saja yg sedang belajar budaya dan sejarah jepang maupun yg menggemari budaya jepang, juga siapa saja yg belajar tentang leadership. ^_^

    ReplyDelete
  2. Sekarang sedang mengumpulkan uang untuk membeli TAIKO.. :)

    ReplyDelete