Masih ingat tentang Totto-chan? Itu lho, yang novelnya baru saya
selesaikan dua pekan lalu. Novel yang berjudul asli Totto-chan: The
Little Girl at the Window adalah buku yang pernah menghebohkan Jepang.
Pernah terjual 4.500.000 dalam setahun, itu belum termasuk yang
diterjemahkan ke berbagai bahasa di penjuru dunia. Yang mengesankan
lagi, buku ini menjadi buku wajib pendidikan, bahkan beberapa isinya
menjadi materi pengajaran di kelas. Namun kali ini saya tidak akan
berbicara tentang substansi pendidikan di dalamnya, saya akan
membicarakan hal lain.
Adalah wajar, ketika ada sebuah novel
yang sangat laris, kemudian banyak produser yang ingin mengangkat kisah
novel tersebut ke dalam film. Hal itu sudah sering kita jumpai, semisal
serial Harry Potter, Lord of the Ring, Twillight, Ketika Cinta
Bertasbih, Laskar Pelangi, dan masih banyak lagi. Namun, hal itu tidak
terjadi pada novel Totto-chan ini. Sang pengarang, Tetsuko Kuroyanagi,
memang tidak menghendaki hal tersebut. Di dalam 'Catatan Akhir' novel ia
menulis:
"Setelah buku ini terbit, aku didatangi
perusahaan-perusahaan film, televisi, teater, dan film animasi yang
minta izin untuk memproduksi ceritaku lewat bermacam-macam medium
mereka. Tapi karena sudah banyak sekali orang yang membaca buku ini dan
membuat bayangan mereka sendiri tentang tokoh-tokoh di sini, aku merasa
akan sulit mengembangkan imajinasi mereka betapun hebatnya sutradara
yang akan membuatnya. Jadi kutolak semua tawaran itu." (Hlm. 261)
Saya menilai pilihan penulis begitu bijak. Film, gambar, dan media
visual lainnya adalah media yang pesannya sangat mudah diterima otak dan
lebih sulit hilang ketimbang tulisan atau audio. Hal itu menyebabkan
imajinasi terhadap suatu peristiwa menjadi semakin terarah dan cenderung
sempit. Dan demi menghargai imajinasi banyak orang, penulis menolak
memvisualisasikan novel karyanya.
Apa yang terjadi jika ruang
untuk berimajinasi dipersempit? Tentu lama kelamaan akan mematikan
imajinasi itu sendiri. Banyak orang yang membaca sebuah novel, kemudian
melihat edisi visualnya merasa kecewa karena ternyata film tidak bisa
menggambarkan secara sempurna apa yang mereka imajinasikan sebelumnya.
Sedangkan bagi orang yang membaca novel setelah menonton filmnya, tidak
akan bisa mengembangkan imajinasi mereka karena telah terbatasi oleh
tafsir imajinasi tunggal dalam film.
Matinya imajinasi pembaca
ini justru menurunkan bargaining position novel. Saya merasa ketika
sebuah novel sudah difilmkan, itu akan membuat minat orang untuk membaca
novel tersebut menurun. Pengalaman pribadi, sampai sekarang saya belum
pernah membaca satu pun buku tetralogi Laskar Pelangi. Sebabnya saya
sudah nonton film "Laskar Pelangi" dan "Sang Pemimpi". Pun dengan
Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih yang sebelum filmnya muncul
menjadi novel yang cukup fenomenal, namun pasca itu justru sepi peminat.
Hal yang sama mungkin juga terjadi pada Harry Potter, Lord of The Ring,
Twillight, dan sebagainya.
Untuk itu mungkin ada baiknya tidak
semua novel laris difilmkan. Meskipun dari segi keuntungan cukup besar,
tetapi kepuasan membaca novel tersebut tentu akan terasa berbeda.
Rasanya, tidak ada kemewahan membaca novel yang telah difilmkan. Adakah
yang berpikiran sama?
#SaatnyaDapat4
Diskusi dapat dilihat di sini.
No comments:
Post a Comment