Sunday, May 5, 2013

Novel, Film, dan Imajinasi

Masih ingat tentang Totto-chan? Itu lho, yang novelnya baru saya selesaikan dua pekan lalu. Novel yang berjudul asli Totto-chan: The Little Girl at the Window adalah buku yang pernah menghebohkan Jepang. Pernah terjual 4.500.000 dalam setahun, itu belum termasuk yang diterjemahkan ke berbagai bahasa di penjuru dunia. Yang mengesankan lagi, buku ini menjadi buku wajib pendidikan, bahkan beberapa isinya menjadi materi pengajaran di kelas. Namun kali ini saya tidak akan berbicara tentang substansi pendidikan di dalamnya, saya akan membicarakan hal lain.

Adalah wajar, ketika ada sebuah novel yang sangat laris, kemudian banyak produser yang ingin mengangkat kisah novel tersebut ke dalam film. Hal itu sudah sering kita jumpai, semisal serial Harry Potter, Lord of the Ring, Twillight, Ketika Cinta Bertasbih, Laskar Pelangi, dan masih banyak lagi. Namun, hal itu tidak terjadi pada novel Totto-chan ini. Sang pengarang, Tetsuko Kuroyanagi, memang tidak menghendaki hal tersebut. Di dalam 'Catatan Akhir' novel ia menulis:
"Setelah buku ini terbit, aku didatangi perusahaan-perusahaan film, televisi, teater, dan film animasi yang minta izin untuk memproduksi ceritaku lewat bermacam-macam medium mereka. Tapi karena sudah banyak sekali orang yang membaca buku ini dan membuat bayangan mereka sendiri tentang tokoh-tokoh di sini, aku merasa akan sulit mengembangkan imajinasi mereka betapun hebatnya sutradara yang akan membuatnya. Jadi kutolak semua tawaran itu." (Hlm. 261)
Saya menilai pilihan penulis begitu bijak. Film, gambar, dan media visual lainnya adalah media yang pesannya sangat mudah diterima otak dan lebih sulit hilang ketimbang tulisan atau audio. Hal itu menyebabkan imajinasi terhadap suatu peristiwa menjadi semakin terarah dan cenderung sempit. Dan demi menghargai imajinasi banyak orang, penulis menolak memvisualisasikan novel karyanya.

Apa yang terjadi jika ruang untuk berimajinasi dipersempit? Tentu lama kelamaan akan mematikan imajinasi itu sendiri. Banyak orang yang membaca sebuah novel, kemudian melihat edisi visualnya merasa kecewa karena ternyata film tidak bisa menggambarkan secara sempurna apa yang mereka imajinasikan sebelumnya. Sedangkan bagi orang yang membaca novel setelah menonton filmnya, tidak akan bisa mengembangkan imajinasi mereka karena telah terbatasi oleh tafsir imajinasi tunggal dalam film.

Matinya imajinasi pembaca ini justru menurunkan bargaining position novel. Saya merasa ketika sebuah novel sudah difilmkan, itu akan membuat minat orang untuk membaca novel tersebut menurun. Pengalaman pribadi, sampai sekarang saya belum pernah membaca satu pun buku tetralogi Laskar Pelangi. Sebabnya saya sudah nonton film "Laskar Pelangi" dan "Sang Pemimpi". Pun dengan Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih yang sebelum filmnya muncul menjadi novel yang cukup fenomenal, namun pasca itu justru sepi peminat. Hal yang sama mungkin juga terjadi pada Harry Potter, Lord of The Ring, Twillight, dan sebagainya.

Untuk itu mungkin ada baiknya tidak semua novel laris difilmkan. Meskipun dari segi keuntungan cukup besar, tetapi kepuasan membaca novel tersebut tentu akan terasa berbeda. Rasanya, tidak ada kemewahan membaca novel yang telah difilmkan. Adakah yang berpikiran sama?

#SaatnyaDapat4
 
Diskusi dapat dilihat di sini

No comments:

Post a Comment