Sunday, May 20, 2012

Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya

Oleh Gading Ekapuja Aurizki

Pemandangan berbeda saya temukan ketika mengunjungi SMP 2 Madiun Sabtu siang kemarin (19/5). Terakhir mengunjungi sekolah pertengahan tahun 2010 yang lalu, kondisi gedung sekolah tak jauh berbeda dengan saat saya lulus SMP tahun 2007. Hanya ada penambahan ruang kelas di lantai 2 gedung selatan.

Namun sekarang, kondisi sekolah sudah sangat jauh berbeda. Gedung sekolah tampak di mark-up habis-habisan dengan dominan warna hijau, disertakan pula tulisan visi misi sekolah di sejumlah tembok. Beberapa sudut dibangun, seperti penambahan keramik dan pembangunan panggung aula. Yang baru adalah gazebo dari kursi dan meja kayu, serta keberadaan “laboratorium” tanaman di salah satu sudut sekolah.

Dari seorang staf tata usaha saya mengetahui alasan dibalik perubahan besar-besaran itu, yaitu untuk menyambut penganugerahan Adiwiyata dari Kementerian Lingkungan Hidup.

* * *

Lembaga pendidikan sekarang tampaknya memiliki penyakit yang sama. Baik kampus maupun sekolah, sekarang orientasnya mendapatkan titel dan nilai baik saat akreditasi. Hal itu menjadikan pengelola lembaga pendidikan lebih sibuk melakukan pencitraan lembaga ketimbang fokus membangun karakter siswanya.

Jika dicermati, ternyata titel atau nilai akreditasi tidak berpengaruh secara signifikan pada perkembangan karakter siswa. Tidak juga mendongkrak prestasi akademik atau non-akademiknya. Titel dan akreditasi lebih banyak berpengaruh pada; (1) Citra lembaga; (2) Pembiayaan dan fasilitas; dan (3) Kerja sama.

Citra lembaga biasanya berbanding lurus pada kualitas pendaftar (input). Sedangkan kualitas lulusan (output) tetap ditentukan oleh kualitas produk pendidikan dengan berbagai instrumen pendukungnya. Adapun jika titel dan akreditasi itu memang memiliki pengaruh, pasti alokasinya lebih banyak ke instrumen pendukung seperti; kelengkapan fasilitas, kucuran dana, dan jejaring yang luas. Semuanya itu hanyalah suplemen bagi pendidikan. Sedangkan nutrisi pokok yang harus dipenuhi adalah Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang diselenggarakan dengan berorientasi pada pembentukan karakter peserta didik.

Untuk mencapai kualitas pendidikan terbaik, pembiayaan dan fasilitas memang mutlak diperlukan. Seperti kata pepatah Jawa, “Jer basuki mawa beya” –Barangsiapa ingin sukses, membutuhkan biaya-. Biaya di sini bisa di artikan uang maupun fasilitas, ada juga yang mengartikan kerja keras. Namun mutlaknya kebutuhan pembiayaan dan fasilitas ini tidak lantas menjadikannya yang utama. Justru yang utama adalah idealisme guru dalam usaha mencerdaskan peserta didiknya. Biaya atau fasilitas mengikuti.

Memang, titel dan akreditasi yang baik mempermudah lembaga pendidikan untuk menjalin kerja sama dengan pihak luar. Lembaga pendidikan di luar negeri misalnya, sebelum memutuskan untuk menjalin kerja sama biasanya melihat titel dan hasil akreditasi lembaga terkait. Namun sekali lagi kerja sama itu harus berorientasi pada pembentukan karakter siswa, tidak sekedar ngopeni –mengurus- peserta didik lembaga/negara lain untuk dibawa ke sana kemari tanpa ada dampak terhadap peningkatan kualitas peserta didik sendiri.

Saya menyampaikan beberapa hal di atas bukan berarti saya alergi terhadap titel dan akreditasi. Sama sekali tidak! Saya pun memahamai bahwa di era global seperti sekarang kualitas suatu produk harus terukur, dan akreditasi adalah salah satu caranya. Namun yang saya khawatirkan adalah ketika akreditasi dijadikan segala-galanya. Perlu ada perubahan mindset bahwa akreditasi adalah tugas ekstra bagi lembaga pendidikan yang memang ingin lebih unggul dari lembaga lain. Namun tugas utamanya tidak boleh ditinggalkan, yaitu –seperti yang saya katakan sebelumnya- membangun karakter peserta didik.

Membangun Jiwa

Jika mencermati lirik lagu Indonesia Raya ciptaan WR Supratman kita akan mendapati bait yang berbunyi, “Bangunlah jiwanya bangunlah badannya.” Artinya apa? Sebelum membangun badan (fisik), harus dibangun jiwanya terlebih dahulu. Sebelum memperbaiki gedung, menambah fasilitas, dan memperluas jaringan, yang harus dipenuhi pertama kali adalah jiwa pembelajar para peserta didik, yaitu kekritisan, keingintahuan (curiosity), dan kepedulian. Sehingga di awal-awal peserta didik harus diajari bagaimana mencintai ilmu sebelum disuguhi berbagai macam fasilitas. Diajari untuk apa ilmu itu sebelum diberi nilai. Kesimpulannya adalah sebelum mengunggulkan jargon-jargon dan pencitraan, perbaikan kualitas pendidikan harus didahulukan.

2 comments:

  1. jadi ketika instansi mengejar titel tanpa perbaikan SDM, bisa jadi kriteria penilaian yang memang tidak mensyaratkan itu. penilaian hanya dilihat dari tampilan fisik saja.

    ReplyDelete
    Replies
    1. kualitas SDM itu sendiri juga sulit diukur..tidak sekedar dari perolehan tropi/medali.
      Titel pasti memasukkan variabel SDM, tapi jika melihat realita di lapangan, semua terkesan dipaksakan..misalnya di SMP 2 Madiun yg mengejar Adiwiyata, semua diubah seolah2 berbau lingkungan hidup..karya2 siswa berbau lingkungan hidup, di kelas selain mading akademik ada mading LH. Bahkan misinya juga diganti --tidak seperti misi yg dulu ana tahu- jadi ada bau2 "berbudaya lingkungan hidupnya."

      Keluhan dari teman2 yg masih mengawal Pramuka-ny, bnyak yg merasa character building tdak lagi ditekankan..

      Delete